Ini Penjelasan Greenflation dari Guru Besar UI

DEPOK – Istilah Greenflation sebelumnya disinggung calon wakil presiden nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka dalam debat Cawapres yang digelar KPU pada Minggu (21/1/2024) di Jakarta Convention Center, Senayan.

Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengungkapkan secara gamblang mengenai fenomena greenflation.

Bacaan Lainnya

Telisa Falianty menjelaskan dirinya pernah membahas greenflation saat pidato pengukuhannya sebagai guru besar UI pada September 2023 lalu. Dia mengatakan konsep greenflation dapat diringkas sebagai kenaikan harga barang dan jasa atau inflasi sebagai konsekuensi dari transisi perekonomian menjadi perekonomian yang lebih ramah lingkungan, yaitu perekonomian net-zero.

Namun, dia mengingatkan tidak semua kenaikan harga itu disebabkan adanya greenflation. Misalnya, pada kasus tingkat inflasi tahunan sebesar 5,3% di Uni Eropa pada Desember 2021, greenflation saja belum cukup untuk menjelaskan penyebab dari inflasi tersebut karena terdapat alasan lain di balik kenaikan harga.

“Greenflation tercermin di kenaikan harga beberapa komoditas. Permintaan yang kuat terhadap logam yang diperlukan untuk transisi energi terbarukan serta pasokannya yang tidak mampu memenuhi permintaan tersebut,” kata Telisa dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (23/1/2024).

Pasokan akan yang tidak mampu memenuhi permintaan di Eropa tersebut menjadi rendah akibat investasi yang rendah secara masif di sektor pertambangan, yang sangat terdampak oleh adanya Covid-19. Seperti misalnya di China, memasok hampir 60% alumunium di dunia, akan tetapi memutuskan harus membatasi peleburan baru berkaitan dengan kampanye netralitas karbonnya.

“Selain itu, penurunan produktivitas yang disebabkan oleh pertanian ramah lingkungan dan beretika mengakibatkan harga bahan pertanian menjadi lebih tinggi,” tegas wanita yang juga merupakan Staf Ahli BRI Danareksa Sekuritas itu.

Ia pun menekankan, greenflation berkaitan erat dengan kenaikan harga energi. Meski bertentangan dengan perkiraan menurut laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) pada 2019 yang menyebut biaya energi terbarukan justru kini dapat lebih murah dibandingkan biaya energi fosil, terutama pada pembangkit listrik tenaga angin dan fotovoltaik surya di darat.

Menurutnya, kondisi ini disebabkan energi terbarukan belum cukup terukur dan masih membutuhkan biaya investasi yang besar.

Pada akhirnya, dia menilai greenflation merupakan kenaikan harga akibat pajak lingkungan. Ini karena adanya integrasi antara eksternalitas negatif terhadap harga barang dan jasa, dan dengan cara tersebut dapat memengaruhi perilaku konsumen.

Dengan adanya pajak lingkungan, mendorong konsumen untuk melakukan konsumsi dengan cara yang lebih berkelanjutan dan hal tersebut merupakan terobosan nyata dalam transisi ekologis, kata Telisa berdasarkan laporan The Council on Business & Society pada 2022.

Ia pun menekankan, transisi ke kondisi baru yang stabil tidak terjadi secara gratis, akan ada biaya yang harus dibayarkan untuk menggunakan tindakan ramah lingkungan, yang mencerminkan tujuan ganda, yaitu untuk melindungi bumi dan hak untuk menentukan nasib sendiri.

Maka, ia berpendapat, untuk mengantisipasi permasalahan yang berpotensi menimbulkan greenflation diperlukan dukungan fiskal untuk melindungi masyarakat yang paling rentan.

Pos terkait