Oleh : Murodi al-Batawi
Generasi 60,70 dan 80, an masih ingat lagu Gamban Kromong yang dinyanyikan ole Benyamin S, seniman legendaris dari tanah Betawi. Lagunya Ondel-ondel. Lagu ini menghantarkan kreasi seniman masyarakat Betawi, ondel-ondel menjadi salah satu ikon kebudayaan komunitas etnis masyarakat Betawi. Bahkan menjadi simbol tersendiri di Daerah Khusus Ibu Kota(DKI) Jakarta, sebelum adanya Kepres tentang perpindahan Ibu Kota ke Penajam (Kalimantan Timur). IKN (Ibu Kota Nusantara), menggantikan posisi DKI Jakarta. Dan juga sudah ada Pergub DKI Jakarta bahwa setiap bangunan pemerintah dan swasta, diharuskan menggunakan simbol Betawi, seperti adanya ukiran gigi belalang dalam setiap bangunan, selain simbol Betwi, Ondel-ondel Betawi.
Pernah suatu hari saat saya sedang naik angkot, ketika ada ondel-ondel sedang atraksi di jalanan pagi hari, ada salah seorang penumpang berceloteh. “ Wah kasihan ya sekarang. Orang Berawi sudah pada jatuh miskin. Gak punya pekerjaan dan gak punya duit, sampai-sampai ondel-ondel disuruh kerja cari duit. Emang dasar orang Betawi pemalas. Culas dan gak kreatif apalagi produktif. Masa ondel-ondel yang disuruh bekerja, cari duit. Padahal, dahulu banyak orang Betawi yang kaya. Tanahnya luas. Kontrakannya banyak, sekarang ludes. Habis males sih. Mau ngawinin, jual tanah. Mau naik haji jual tanah. Mau makan enak jual tanah. Dan sekarang benar-benar ludes semuanya.
Tampaknya, sang penumpang punya dendam tersendiri pada orang Betawi. Entah apa tang terjadi. Tapi,
kalau dipikir-pikir, kadang ada benarnya juga. Orang Betawi itu memang pemalas. Gak mau bekerja keras. Terlebih mereka yang cuma lulusan SMP atau SMA. Paling banter juga cuma ngojek. Mau kerja kantoran, banyak pesaing yang sudah sarjana. Kalau diterima di kantoran, paling jadi OB atau security. Sangat jarang yang mnduduki jabatan top leader di lembaga atau perusahaan pemerintah.
Eit, sebentar dulu. Boleh kita dengar dan pahami komentar si penumpang angkot tadi. Dia kasihan pada di ondel-ondel Betawi yang dipaksa bekerja cari duit. Tapi, kalau kita cermati dan tanya satu-perstau pemain ondel-ondel, pasti akan tercengang. Kenapa…? Karena dari para pemain ondel-ondel keliling, semua bukan penduduk Betawi. Mereka berasal dari beberapa daerah di Jawa; seperti dari Cirebon, Indrammayu dan ada juga yang berasal dari Brebes dan Tegal.
Mereka datang ke Jakarta, tujuan utamanya bukan jadi pemain ondel-ondel. Tapi cari pekerjaan lain. Karena mereka kalah bersaing dan belum memperoleh pekerjaan yang mereka inginakan, untuk sementara waktu, mereka menjadi pemain ondel-ondel. Meski akhirnya banyak di antara mereka yang terus menjadi pengamen ondel-ondel jalananan.
Ondel-ondel Betawi: Sejarah dan fungsi awal sebagai Tolak Bala
Tidak ada data dan bukti sejarah yang menunjukkan secara detil siapa orang pertama yang membuat ondel-ondel. Hanya ada yang mengatakan bahwa ondel-ondel sudah ada sebelum tahun 1600 M. Hal ini dapat ditemukan dalam catatan seorang pedagang dari Inggris W. Scot. Dalam catatannya W. Scot mengatakan bahwa terdapat sebuah pertunjukkan adat yang unik berupa Boneka Raksasa terbuat dari kertas yang dilakukan oleh masyarakat adat di Betawi. Pada mulanya, patung besar terbuat dari kertas tersebut digunakan untuk melindungi masyarakat dari gangguan ruh jahat. Sebagai Tolak Bala.
Hal ini seperti apa yang dikatakan Kustopo, semula patung ondel-ondel digunakan oleh masyarakat sebagai media tolak bala. Karena pada masa itu, ada masyarakat satu kampung di Sundapura, terkena bencana dan semua warga sakit. Karena waktu itu belum ada dokter yang mampu mengobati penyakit tersebut, akhirnya ada seorang dukun yang dianggap mampu mengobati penyakit massal tersebut.
Kemudian Sang dukun melakukan semedi untuk mendapatkan wangsit dari langit. Dalam persemedian itu, ia mendapat wangsit agar membuat patung besar dari kertas.
Karena itu kemudian, setelah bangun, sang dukun membuat patung raksasa terbuat dari kertas yang digunakan sebagai alat tolak bala, untuk menyembuhkan penyakit. Boneka kertas tersebut diarak dengan diiringi musik, sehingga patung itu berjalan sembari geleng-geleng kepala, mengusir bala yang mengancam masyarakat Sundapura. Dan akhirnya, satu persatu warga sembuh sehingga masyarakat satu kampung di Sundapura, sembuh dari penyakit.
Jadi, patung orang-orangan yang terbuat dari kertas tersebut, dijadikan sebagai media pengobatan dan mengusir ruh jahat. Kemudian dianggap sakral dan dalam setiap acara adat, selalu ada ondel-ondel, sebagai media tolak bala dan pengusir ruh jahat, yang kemudian menjadi hiburan warga. Sejak saat itulah ondel-ondel dijadikan sebagai hiburan buat warga.
Dari gerakan menggelengkan kepala itulah kemudian masyarakat menyebutkan dengan ondel-ondel. Nama itu terus digunakan hingga saat ini.
Kebijakan Gubernur DKI Jakarta
Ketika Ali Sadikin mrnjabat Gubernur DKI Jakarta pada 1966-1977, ia mengeluarkan kebijakan bahwa ondel-ondel sebagai seni pertunjukkan rakyat untuk menghibur masyarakat. Kian hari terjadi pergeseran makna spiritual magic boneka ondel-ondel, dari boneka tolak bala menjadi bonek seni hiburan buat masyarakat Jakarta. Dari boneka yang mengerikan, karena tampang wajah dan matanya yang menyeramkan, diubah dengan tampang yang bersahabat dan humanis.
Dengan demikian, perubahan sakralitas pada ondel-ondel menjadi profan, karenanya ia tidak lagi menjadi media atau alat tolak bala dalam penyembuhan, tetapi menjadi boneka hiburan yang dapat dinikmat masyarakat.
Perubahan itu juga sebagai akibat pemda DKI menghendaki adanya simbol buat kebudayaan Betawi di DKI Jakarta. Dan Boneka ondel-ondel sekarang menjadi simbol kebudayaan masyarakat Betawi, yang memiliki makna filosofis sebagai kekuatan yang mampu memberikan perlindungan pada masyarakat.
Tapi sekarang, sepertinya ada penyimpangan dan penyalahgunaan bonek ondel-ondel, sudah berubah fungsi dari sesuatu yang sakral, menjadi benda profan, dan dimainkan hanya sekadar hiburan untuk mencari uang. Lebih parahnya lagi, bukan dimainkan oleh masyarakat Betawi, sebagai pewaris sah dari kebudayaan ini. Karena itu, menurut saya, harus ada kebijakan pelarangan menjajagan pertunjukkan ondel-ondel di jalanan. Tidak hanya merusak citra ondel-ondel itu sendiri, terlebih masyarakat Betawi{Odie}.
Pamulang, 05-05-2024.
Murodi al-Batawi.