Oleh: Nazilatul Qodariyah, S.Pd., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Kasus demam berdarah dengue (DBD) di sejumlah daerah masih terus meningkat. Dari awal 2024 hingga saat ini kasus DBD di Indonesia terus mengalami peningkatan. Kementerian Kesehatan mengatakan, per minggu ke 15 tahun 2024, terdapat 475 yang meninggal karena DBD, dan tercatat kasus sebanyak 62.001 kasus. Peningkatan kasus DBD mencapai 3 kali lipat dari tahun sebelumnya. Di tahun 2023, pada periode yang sama terdapat sebanyak 22.551 kasus DBD serta 170 kematian (antara news.com).
Kasus DBD di Jawa Tengah periode Januari-Maret 2024 telah mencapai 4.403 kasus dengan 115 kematian. Di Bali, selama bulan Maret 2024, terdapat 1.659 kasus DBD dengan 3 orang meninggal. Angka ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pada Februari, terdapat 910 kasus dengan 1 orang meninggal, sedangkan pada Januari 2024, terdapat 709 kasus. Di bulan April, hingga 15 April, sudah tercatat 899 kasus DBD dengan 2 orang meninggal.
Di daerah Jawa Barat juga terjadi lonjakan peningkatan kasus DBD. Di Kabupaten Garut, hingga 3 April 2024, tercatat 735 kasus DBD dengan satu kasus kematian. Di Kota Bandung, pada tiga bulan pertama di tahun 2024 ini, terdapat 1.741 kasus DBD hingga menyebabkan 8 orang meninggal dunia. Dinkes Kota Cimahi mencatat ada 264 orang terserang DBD. Terakhir, kasus DBD yang melonjak juga terjadi di Kabupaten Ciamis. Dinkes Ciamis mencatat sampai 20 Maret 2024, ada 355 warga terjangkit DBD. Tiga orang di antaranya meninggal dunia.
Di Sumatera Selatan, kasus DBD memuncak pada 8 Maret 2024, mencapai 1.449 kasus. Angka ini tertinggi selama 5 tahun terakhir. Di Jakarta, ada 1.729 kasus DBD hingga 18 Maret 2024, 1.102 orang terjangkit dalam sebulan. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, mencatat 168 kasus DBD. Dua di antaranya dilaporkan meninggal dunia.
Yang lebih menyedihkan, bukan hanya pasien yang bertambah akan tetapi rumah sakit juga membludak oleh pasien DBD bahkan tidak cukup menampung pasien-pasien tersebut. Bahkan, pasien BPJS hanya bisa dirawat 3 hari dan setelah itu harus pindah rumah sakit jika pasien belum sembuh. Tetapi karena kondisi rumah sakit yang kepenuhan pasien, belum tentu pasien tersebut bisa dirawat di rumah sakit lagi.
Sungguh, kasus DBD ini tidak bisa dianggap biasa dan dijadikan penyakit musiman karena peningkatan yang sangat tinggi dan jauh dari tahun sebelumnya. Harus ada penyelesaian yang serius dan membutuhkan solusi yang komprehensif. Namun, sudahkan pemerintah kita menanganinya dengan serius?
Kasus DBD memang kasus yang terus berulang dari tahun ke tahun. Angkanya pun mengalami perkembangan yang fluktuatif, kadang naik kadang juga turun. Seperti pada 2013, data penyakit DBD mencapai 112.511 kasus, sedangkan 2014 jumlah kasusnya menurun hanya berkisar 100.347 kasus, dan pada 2015 berdasarkan data yang ada terdapat sebanyak 129.500 kasus. Namun, pada 2016, terjadi lonjakan kasus DBD yang cukup tinggi hingga 204.171 kasus. Jumlah kasus ini merupakan angka tertinggi kasus DBD dalam kurun 10 tahun terakhir. (Goodstats, 23/2/2023).
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah sudah bisa memprediksi akan terjadi kasus DBD sehingga melakukan tindakan preventif dan kuratif. Bahkan memberikan penyuluhan kesehatan terkait DBD sebelum kasusnya melonjak. Namun, dari peningkatan yang sangat cepat di awal tahun 2024 ini menunjukkan bahwa tidak ada keseriusan pemerintah dalam mencegah kasus DBD ini. Hal ini juga terungkap dari pernyataan Direktur Pencegah dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Imran Pambudi, bahwa kasus DBD sudah terjadi mulai November 2023 di berbagai daerah, namun pemerintah tidak serius menanganinya sehingga semakin menyebar luas (Katadata.co.id, 17/04/2024).
Upaya yang dilakukan pemerintah lebih fokus pada pencegahan dan pengobatan. Pencegahan yang dilakukan pemerintah pun masih berkutat pada pengendalian vektor (agen virus) yang melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya seperti larvasida, fogging fokus, 3M plus (menguras, menutup, mengubur/ mendaur ulang barang bekas, dan vaksinasi), juru pemantau jentik (jumantik), pemberantasan sarang nyamuk (PSN), hingga Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1).
Walaupun sudah ada riset yang dilakukan dalam mencegah dengue merajalela, seperti teknologi nyamuk Wolbachia dengan hasil yang menunjukkan penurunan 77% kejadian dengue di daerah intervensi (daerah uji coba Wolbachia). Akan tetapi kasus DBD masih tinggi karena belum semua daerah mendapatkan pencegahan melalui nyamuk Wolbachia ini.
Mengapa terjadi demikian? Karena sistem kapitalisme lah yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam kapitalisme, kesehatan termasuk bagian dari bisnis. Sehingga dalam menanggulangi masalah DBD ini harus ada untung ruginya. Contohnya, vaksin DBD sudah tersedia, tetapi jika masyarakat ingin mendapatkan vaksin ini harus merogoh uang dengan harga Rp700.000 per dosis. Pemerintah belum bisa memberikan vaksin ini secara gratis dengan alasan kapasitas produksi vaksin DBD di dalam negeri yang masih sangat terbatas.
Selain itu, dalam hal pengobatan, masyarakat harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk bisa cepat tertangani ketika sudah terkena virus DBD. Padahal tidak semua masyarakat bisa mengeluarkan dana tersebut terlebih lagi pada masyarakat yang berekonomi rendah.
Ditambah lagi dengan adanya deforestasi yang dilakukan pemerintah sehingga hutan yang menjadi tempat hidup nyamuk Aedes aegypti tidak ada lagi dan berpindah ke pemukiman warga. Pemerintah melakukan hal ini karena lebih mementingkan kepentingan para pengusaha dibandingkan kesehatan masyarakatnya sendiri. Jadi wajarlah jika kasus DBD terus menerus meningkat.
Dalam Islam, kesehatan merupakan tanggung jawab negara dan bukan bisnis. Masyarakat diberikan jaminan kesehatan penuh tanpa harus bayar. Hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan tidak dibebankan kepada rakyat karena negara lah yang mengeluarkan dana untuk kesehatan masyarakatnya. Seperti pembiayaan kesehatan, sarana dan fasilitas kesehatan, obat-obatan, penelitian yang berkaitan dengan kesehatan bahkan penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan. Sehingga masyarakat tidak akan khawatir ketika terserang penyakit bahkan terjadinya wabah. Semua ini bisa terwujud jika dalam negara yang menerapkan Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam bish-shawab