Oleh: Kaisar Adam
Teknologi digital acap kali membawa kita pada titik yang menyebabkan bias definisi dan pengertian sehingga pembagian fungsi, tugas dan kewajiban sering kali tidak dapat dipenuhi dengan baik. Saat dilihat dari sudut pandang kerentanan, teknologi memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terlebih saat ini mudahnya mendapati teknologi ketimbang kejujuran. Di samping itu pun kemampuan dan pemahaman masyarakat yang belum sepenuhnya teredukasi mengenai kerentanan teknologi ini.
Kehidupan masyakarat menjadi sangat berubah dengan banyaknya informasi yang mudah didapatkan akibat perkembangan teknologi yang sangat cepat. Hal ini pun sangat dirasa juga dalam aspek pendidikan. Teknologi memberikan ruang pada semua terutama pada aspek pendidikan untuk dapat digunakan dengan baik. Namun, kembali pada pertanyaan apakah masyarakat Indonesia sudah mengetahui dan menggunakan teknologi terutama sosial media dengan baik?
Pemerataan informasi mengenai kerentaan teknologi ataupun kerentanan sosial media ini bukanlah mudah untuk dilakukan di negara seperti Indonesia. Negara kepulauan yang mempunyai jarak yang sangat jauh dengan kontur geografinya yang beragam serta pastinya mempunyai tantanganya sendiri. Tapi bukanlah tidak mungkin jika pemerataan informasi ini dapat dilakukan dengan baik terlebih ada kemauan dan konsen pemerintah terhadap masyarakatnya.
Kekhawatiran ini muncul sebab maraknya tenaga pendidik yang menjadi content creator. Content creator sendiri adalah upaya bagus untuk memanfaatkan teknologi agar tidak menjadi sia-sia dan bahkan dapat menguntungkan si pembuat konten tersebut. Namun, jika content creator sudah masuk dalam aspek pendidikan atau tenaga pendidik yang menjadi creator akan menimbulkan sebuah kerentanan bahkan masalah baru dalam dunia pendidikan.
Sejauh yang kita ketahui bersama, sosial media mewadahi berbagai macam bentuk tulisan, suara, gambar hingga video. Hal ini mendorong banyak masyarakat berbondong-bondong membuat konten dan berlomba mencari keuntungan yang dikalkulasikan dalam bentuk jumlah likes, comment, viewers hingga engagement. Bahkan tidak sedikit pula yang membuka kesempatan endorsement produk demi mencari keuntungan pribadi. Bagaimana pun juga sosial media ini adalah ruang manipulatif penuh dengan pengkondisian dan nafsu pribadi. Kita sendiri pun mengetahui dan ikut merasakan juga bahwa apa yang kita publikasikan di sosial media adalah hasil akhir dari banyaknya proses edit yang memakan waktu karena harus sesuai dengan apa yang kita rasa bagus dan dinilai mengesankan banyak orang.
Begitupun yang terjadi dalam content creator pendidikan atau guru content creator. Bukan saya bermaksud tidak baik ataupun curiga. Tapi dengan banyaknya proses publikasi konten ke dalam sosial media dapat menambah beban seorang tenaga pendidik diluar tugas ia mengajar dengan baik peserta didiknya. Banyaknya unsur-unsur publikasi yang dilakukan dan ditambah dengan keinginan untuk mendapat keuntungan pribadi inilah yang menjadikan guru content creator sangat rentan dikomersialisasikan tanpa ada persetujuan mutlak dari peserta didik.
Tak hanya itu, setiap konten tanpa persetujuan adalah tindakan pelanggaran etika dan tanpa disadari merupakan tindakan degradasi moral tenaga pendidik yang seharusnya menjunjung prinsip privasi dan etika kepada peserta didik.
Jika dibiarkan terus-menerus fenomena ini akan sangat berdampak pada sebuah kebenaran dalam dunia pendidikan dan menormalisasikan bentuk pelanggaran privasi. Misalnya, sebuah metode pelajaran tradisionalis yang dinilai mampu dan efektif akan bergeser dengan informasi yang disajikan dalam konten tersebut, bahkan yang sangat ditakutkan sekali bahwa kebenaran suatu materi ajar pendidikan ditentukan melalui kalkulasi digital atau dengan kata lain viral.
Sehingga perlu ada suatu kebijakan dan kerja-kerja pemerintah terutama Kemendikbudristek agar mampu memberikan edukasi akan kerentanan sebuah teknologi terutama sosial media.
Semoga fenomena ini dapat ditindaklanjuti dan diberikan perhatian lebih oleh pemerintah agar proses pendidikan di Indonesia dapat berjalan dengan baik tanpa ada bentuk pelanggaran fundamental demi sebuah kata viral dan terkenal.