Oleh: Huda Reema Naayla, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Bonus demografi yang terjadi hari ini seharusnya membawa banyak kemudahan dan kebahagiaan, utamanya bila dilihat dari segi kekeluargaan dan negara. Berdasarkan grafik piramida yang ada, negeri ini mendapatkan bonus demografi yang sangat melimpah dan sangat ‘sehat’ bila dibandingkan dengan negara lainnya. Bahkan negeri ini memiliki cita-cita mencetak generasi emas di 2045. Namun apakah hal tersebut bisa benar-benar terwujud? Mengingat maraknya kasus yang merusak generasi bahkan menjauhkan generasi dari paham agama.
Sebagaimana yang diberitakan, cnnindonesia.com, (23/6/2024), telah terjadi kasus pencabulan terhadap siswi sekolah dasar (SD) yang berusia 13 tahun yang dilakukan anak di bawah umur yang masih berstatus pelajar. Menurut polisi, tersangka dalam kasus tersebut terjadi di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) dan dilakukan oleh 26 anak rata-rata di bawah umur alias masih berstatus pelajar. Dan masih banyak kasus yang serupa terjadi di negeri ini.
Sudah berulang kali kasusnya terjadi di negeri yang berlandaskan hukum ini, namun respons dari pemangku jabatan diam tak bergeming, seakan-akan kasus tersebut sesuatu yang wajar. Tidak mengherankan jika kasusnya terus ada di tengah-tengah masyarakat di mana pun mereka berada.
Perlu diketahui, kasus ini seharusnya bukan kasus yang bisa dilakukan secara berkala. Kasus ini sebagai bentuk kegagalan negara dalam menjamin perlindungan terhadap anak. Anak yang menjadi korban kekerasan di lingkungan masyarakat, sekolah, bahkan keluarga. Pelakunya bisa orang dewasa termasuk orang tua dan guru, teman sebaya, bahkan aparat. Sangat miris tentunya, sistem pendidikan saat ini gagal melahirkan individu yang berakhlak mulia.
Pasalnya, dalam sistem kapitalisme yang senantiasa mengangungkan uang tentu melihat sistem pendidikan, terutama pendidikan Islam itu sesuatu yang tidak penting. Dari sinilah lahir bibit-bibit generasi yang rusak karena tidak dipahamkan dengan agama secara menyeluruh. Pada sistem kapitalisme ini, negara sejatinya menjadi sumber kekerasan sebenarnya, karena menerapkan aturan yang memberi celah lebar bagi terjadinya kekerasan terhadap anak. Bahkan sistem sanksi pun tak mampu mencegahnya.
Anak dalam pandangan sistem kapitalisme, tidak sama sekali ditanamkan paham terkait dengan keimanan dan ketakwaan individu. Ini adalah sesuatu hal yang lumrah dan banyak dijumpai oleh kita dalam sistem pendidikan hari ini. Tujuan utama dari sistem pendidikan hari ini guna menghasilkan materi dalam jumlah sebanyak-banyaknya saja.
Bahkan, upaya yang bisa dilakukan sejauh ini oleh pemerintah hanya dengan membentuk kementerian khusus. Namun, keberadaan kementerian khusus pun dengan segala programnya, nyatanya belum mampu mewujudkan perllindungan anak. Semua karena dilandaskan pada paradigma sekuler kapitalisme, sehingga memandang anak pun dengan pandangan tersebut.
Ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam dalam institusi khilafah. Dalam sistem Islam, semua komponen sifatnya penting. Tidak ada perbedaan dan bahkan tidak dibedakan berdasarkan manfaatnya semata. Khilafah memiliki sistem perlindungan anak dengan cara menegakan 3 pilar yang meliputi keimanan dan ketakwaan individu, kontrol masyarakat dengan amar ma’ruf nahi munkar dan penerapan aturan oleh negara. Perlu disadari, dengan penerapan aturan Islam dalam semua bidang kehidupan, perlindungan terhadap anak akan dapat diwujudkan.[]