DEPOKPOS – Beberapa minggu terahir, jagat maya ramai membahas pelaksanaan wisuda pada tingkat taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar(SD), sekolah menengah pertama(SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).
Sebagian warganet menginginkan agar kegiatan wisuda atau pelepasan siswa pada tingkat sekolah terrsebut ditiadakan dan wisuda hanya dilakukan pengurun tinggi.
Namun kini,wisuda juga digunakan berbagai tingat Pendidikan.
Dalam Bahasa inggris kata wisuda yaitu graduation. Prosesi wisuda selalu diidentikan dengan pakaian toga, toga berasal dari Bahasa latin yaitu ‘’tego’’yang artinya penutup.
Dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI), wisuda ialah peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Sedangkan menurut Wikipedia, wisuda adalah upacara peneguhan atau pelantikan bagi seseorang yang telah menyelesaikan Pendidikan.
Pengertian lainya, wisuda adalah puncak dari proses studi Panjang yang melelahkan, melewati masa sulit dan hambatan.
Prosesi wisuda sebuah kegiatan yang sangat sakral dan sibollis, kegiatan tersebut memberikan pro dan kontra jika dilaksankan oleh tingkat sekolah, di anggap tidak pantas untuk anak usia dini.
Kegiatan menjadi momen mengharukan, membanggakan, sekaligus memusingkan siswa dan orangtua. Beragam pilihan yang harus dikeluarkan masyarakat.
Padahal, biaya Pendidikan yang dikeluarkan orangtua tak putus sampai akhir kelulusan. Ada biaya uang sekolah selanjutnya dengan jumlah tidak sedikit.
Kegiatan wisuda menjadi kenangan bagi orang tua bahwa anaknya telah melewati suatu tahap Pendidikan. Penghargaan diberikan dengan situasi dan kondisi sekolah masing-masing.
Mengadakan kegiatan pentas seni, pameran, dan lainya dalam rangka memberikan apresiasi siswa di akhir studinya. Kegitan wisuda pada tingkat sekolah memang tidak mendapatkan larangan tertentu, namun beberapa orang tua merasa keberatan dengan biaya yang diperlukan.
Selain soal biaya, wacana krisis yang mencuat ingin mengembalikan seremoni kelulusan bukan sebagai ajang gensi dan pemborosan, melainkan Kembali pada esensi tentang Pendidikan tersebut. Salah satu pendapat warganet mengatakan, ‘’gensi memang mahal’’.
Termasuk gensi saat wisuda anak. Orang tua berlomba memoles anaknya dengan make up terbaik, mencarikan pakaian baru dan aksesoris demi menujang tampilan anak pada acara tersebut.
Mungkin kegiatan tersebut tidak semua orang tua menyanggupi karena banyak dari orang tua memiliki ekonomi menengah kebawah yang mendahulukan memenuhi kebutan sehari-hari dari pada acara tersebut.
Setiap tahun mencuat polemik kelulusan tentang perayaan wisuda siswa tingkat sekolah layaknya wisuda sarjana. bahkan digelar di hotel dengan biaya tinggi. Tahun ini, perbincangan di media sosial tren wisuda makin tak terkendali.
Perbincangan di jagat maya di sertai dengan seruan dari warga net agar Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset Teknologi ( Kemendikbudristek) turun tangan melarang pelaksanaan wisuda yang memberatkan Masyarakat, khususnya orangtua siswa.
Polemik wisuda anak sekolah yang dinilai ‘kebablasan’ memeliki argument masing-masing. Ada mengatakan sejak kecil perlu merasakan wisuda agar tambah semangat belajar ke jenjang lebih tinggi dan banyak yang beralasan biarkan wisuda dari TK karena belum tentu setiap siswa mampu berpendidkan hingga sarjana.
Alternatif selain wisuda
Sekolah bisa mengambil sikap tidak ikut-ikutan tren wisuda yang menelan biaya besar dan memberatkan orangtua.
Hal ini juga entuk empati untuk mereka yang tak sanggup merogoh biaya untuk kepeluan wisuda. Sebagai alternatif, acara wisuda dapat digantikan dengan perayaan lebih sederhana, bermakna.
Misalnya, semua lulusan, orangtua, guru untuk makan bersana di sekolah dan diisi dengaan kegiatan pentas seni, untuk menampilkan bakat dari para siswa lulusan.
Siswa lulusan juga bisa diajak kelilling desa di sekitar sekolah berada, lalu diajak berkontribusi positif bagi desa, seperti membersikahkan tempat ibadah, Sungai, balai desa, ataupun tempat pelayanan umum.
Bisa juga para lulusan diajak mngunjungi perusahaan lokal yang berhasil. Para pemillik usaha dimita memberikan motivasi agar di sekolah tingkat lanjut, anak-anak harus lebih giat belajar meraiih mimpi dan kesuksesan.
Hidayatulfani, mahasiswa Universitas Pamulang