51 Siswa SMP Gagal Sekolah di SMA Negeri Akibat Nilai Rapor yang Dimark-Up, Salah Siapa?

Oleh: Mega Marlina, S.P., Aktivis Muslimah di Depok

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) para siswa baru sudah berlalu, namun menyisakan beberapa catatan penting di dunia pendidikan khususnya di wilayah Depok. Masih segar dalam ingatan ketika minggu lalu mencuat berita sebanyak 51 siswa lulusan SMPN 19 di Depok dianulir dari delapan SMAN Depok lantaran diketahui nilai rapornya di mark-up (Detik.com, 18/7/2024)

Bacaan Lainnya

Perlu penyelidikan lebih lanjut mengenai motif atau akar permasalahan dari kasus yang mencuat, apakah ini memang murni kesalahan sekolah dalam hal ini guru kelas, adakah keterlibatan pihak lain semisal kepala sekolah yang berkerja sama dengan wali murid agar anaknya bisa diterima di SMA negeri? Sementara sekolah sendiri ketika banyak siswanya yang diterima di tempat lain di tingkat lanjutan, otomatis akan mendongkrak citra sekolah itu sendiri. Semacam simbiosis mutualisme.

Sudah rahasia umum banyak orang tua memprioritaskan anak sekolah di instutusi pendidikan negeri ketimbang swasta apalagi strata pendidikan SMA, dengan alasan biaya jauh lebih murah dan kemudahan jalur seleksi rapor ketika anak-anak nantinya hendak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Namun sayangnya praktik suap mengkatrol nilai rapor kerap diambil sebagai langkah cepat, solusi segala permasalahan. Ini seolah membudaya dan menjadi berita dari tahun ke tahun yang tidak lagi mengagetkan masyarakat.

Jika praktik ini yang nantinya terbukti berlangsung, salah siapa? Tentunya yang patut disalahkan adalah: Pertama, orang tua. Orang tua seharusnya menjadi teladan utama kejujuran di rumah, mereka justru malah mengajarkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Ini sebuah contoh akhlak buruk yang jauh dari karakter Muslim sebenarnya.

Kedua, guru dan pejabat terkait dalam hal ini kepala sekolah. Mereka yang ada di lingkungan sekolah seharusnya menjadi garda terdepan dalam urusan pendidikan anak, malah tergoda praktik suap menggadaikan kehormatannya sebagai pendidik hanya demi materi dan prestasi “semu” sekolah di mata lingkungan.

Ketiga, pemerintah. Pemerintah telah gagal menyelenggarakan sistem pendidikan yang betul-betul mencetak generasi yang tak hanya pintar akademik, namun juga bertakwa. Pemerintah juga tidak mampu memberikan kepastian hukum terutama dalam hal pemberian sanksi pada orang-orang yang mencoreng dunia pendidikan.

Khusus untuk kasus ini, memang kepala sekolah, Nenden Eveline, sudah mengakui kesalahan dan siap menanggung konsekuensinya. Belakangan diketahui ke 51 anak tersebut dari Dinas Pendidikan (Disdik) kota Depok telah dipastikan bersekolah di sekolah swasta. Namun ironisnya, masalah biaya pendidikan tidak dicover sekolah ataupun Disdik dan merupakan tanggung jawab orang tua.

Itulah fakta dunia pendidikan kita saat ini. Segala permasalah di dunia pendidikan yang terjadi belakangan ini adalah buah pahit dari sistem pendidikan sekuler. Ketika para pengemban kebijakan setiap tahun hanya fokus pada perubahan kurikulum yang katanya mencerdaskan bangsa, namun realitasnya menjauhkan mereka dari nilai-nilai agama dan moral itu sendiri.

Kurikulum yang berubah-ubah, tidak meratanya kualitas dan fasilitas pendidikan antara di kota dengan pedesaan, gengsi sekolah negeri vs swasta, UKT melambung, sistem zonasi yang memberikan peluang suap menyuap terus menambah panjang daftar buruknya pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia.

Sistem Pendidikan Islam Solusinya
Namun, berbeda dengan karakter istimewa sistem pendidikan dalam Islam yang terletak pada tujuan pendidikan yang mengutamakan output para peserta didik yang memiliki keterikatan terhadap aturan Allah Azza Wa Jalla dan menguasai ilmu sesuai minat dan bakat masing-masing individu.

Generasi Islam juga diberikan pendidikan sesuai fitrahnya yang nantinya dapat berpartisipasi membangun peradaban sesuai keahlian sebagai bentuk syukur akan nikmat akal dari Allah SWT. Anak-anak dididik dan dipersiapkan para ulama dan asatidz untuk menguasai berbagai keahlian di setiap aspek kehidupan tanpa lupa membangun kepribadian Islam (secara akliah dan nafsiyah) mereka. Sebab tujuan mulia inilah, maka nilai materi, mengejar gengsi status sekolah, standar akademik di mata dunia hingga mengabaikan nilai kejujuran, pelanggaran moral pendidik maupun anak didik seperti perundungan, pelecehan seksual, dan lainnya cenderung tiada celah untuk dipraktikkan.

Ketika civitas akademika berjuang bersama-sama menjauhkan satuan pendidikan dari segala keburukan, dosa dan maksiat, maka hampir bisa dipastikan, mustahil jika aktivitas pendidikan akan melanggar syariat. Dan sejalan dengan dasar tujuan pendidikan yang disandarkan kepada hukum Allah sudah diterapkan tadi, maka di sisi lain para pejabat diamanahi mengurusi dunia pendidikan juga membuat aturan dan sanksi yang tegas baik kepada guru, kepala sekolah, wali murid, bahkan siswa itu sendiri jika terbukti melakukan pelanggaran hukum syara.

Inilah solusi cerdas yang seharusnya diadopsi mayoritas masyarakat Muslim di negeri ini untuk menyelamatkan generasi. []

Pos terkait