Oleh: Ami Pertiwi Suwito, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Listrik merupakan kebutuhan krusail bagi masyarakat. Oleh karena itu, setiap negara pasti bergantung pada sumber pembangkit listrik. Di Indonesia sendiri, sumber pembangkit listrik masih didominasi oleh batu bara. Apalagi mengingat persediaan batu bara di wilayah Indonesia yang sangat melimpah. Batu bara tersebut dibakar kemudian menghidupkan PLTU (Pembangkit Tenaga Listrik Uap). Sayangnya, ekploitasi batu bara sebagai sumber pembangkit listrik di Indonesia telah mencemari lingkungan mulai dari udara, tanah, dan mata air sekitar pertambangan batu bara dan PLTU.
Untuk mengurangi dampak negatif dari batu bara sebagai pembangkit tenaga listrik, pemerintah Indonesia kini sedang menggiatkan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm). Biomassa ini merujuk pada organisme makhluk hidup baik itu hidup atau mati, dan bisa dijadikan bahan bakar atau bahan industri. Pemanfaatan biomassa sebagai pembangkit listrik ini sering diklaim oleh berbagai pihak sebagai alternatif untuk mengurangi emisi karbon. Sebab biomassa bisa memanfaatkan limbah-limbah tumbuhan seperti kayu, cangkang sawit, batang sawit, jangkos, tempurung kelapa, dan lain sebagainya.
Namun sebelum menilai manfaat biomassa sebagai pembangkit tenaga, kita perlu tahu dulu siapa yang mendominasi rantai suplai biomassa Indonesia? Menurut hasil risen Trend Asia, jawabannya adalah para konglomerat batu bara dan kayu. Adapun grup-grup raksasa yang dijalankan oleh para konglomerat tersebut seperti APP Sinarmas Group, Sapoerna Group, Salim Group, Medco, Barito Pacific Group, Jhonlin Group, dan Wilmar Group. Diketahui pula, banyak dari perusahaan para konglomerat tersebut memiliki rekam jejak yang buruk seperti perusakan hutan, penggusuran warga, dan mendorong kriminalisasi terhadap kelompok petani.
Motif besar di balik dominasi rantai suplai biomassa oleh konglomerat batu bara dan kayu adalah implementasi co-firing, yakni pembakaran biomassa kayu bersamaan dengan batu bara pada PLTU. Artinya, pemanfaatan biomassa dalam co-firing hanya akan memperpanjang usia PLTU. Para pengusaha batu bara diuntungkan karena masih bisa menyuplai batu bara ke PLTU. Adapun korporasi sawit dan kayu yang diuntungkan karena adanya bisnis baru berupa hutan tanaman energi (HTE). Dengan demikian, sudah jelas jika biomassa tidak bisa diarahkan menjadi energi bersih selama masih didominasi oleh korporat.
Ketika para konglomerat bertambah sejahtera dengan biomassa, kaum petani dan UMKM perkayuan tidak demikian. Para petani yang menyediakan sumber biomassa hanya dilibatkan sebagai buruh perkebunan murah. Sedangkan UMKM perkayuan pun terlibat menyuplai limbah seperti serbuk kayu dengan murah. Maka dalih bahwa biomassa bisa menyejahterahkan rakyat jelata pun tak kunjung terjadi.
Kerusakan lingkungan oleh co-firing dari biomassa pun tak main-main. Sebab berbagai PLTU di Indonesia yang sudah menerapkan co-firing kerap diprotes oleh warga sekitar. Sebagai contoh, PLTU co-firing di Indramayu diakui menghasilkan polusi udara yang lebih tebal dibandingkan sebelum menggunakan biomassa. Selain itu, penebangan hutan justru menjadi semakin liar dengan dalih penggiatan energi biomassa oleh korporat. Lagi-lagi, hutan Indonesia yang seharusnya dijaga malah dibabat terus atas slogan “energi bersih”.
Saudara-saudara, sudah seharusnya kita menyadari solusi listrik bersih di Indonesia hanya bisa tercapai dengan penerapan sisten kehidupan Islam. Sebab Islam mewajibkan negara untuk mengelola keberlimpahan sumber daya alam tanpa campur tangan perusahaan swasta. Dengan begitu, negara bisa memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk membangkitkan listrik secara optimal ke seluruh wilayah negara.
Adapun alam sebagai ciptaan Allah Ta’ala yang harus dijaga. Maka pelaksanaan pertambangan batu bara harus diperketat aturannya agar tidak merusak lingkungan sekitar. Islam pun terbuka dengan inovasi pembangkit listrik lainnya asalkan tidak dijadikan ladang bisnis berkedok energi bersih .[]