Guru dan Kemerdekaan yang Tersandera

Oleh: Andi Ahmadi, Ketua Sekolah Literasi Indonesia

Masih ingatkah Anda pada jeweran lembut guru di telinga kita? Atau sentilan mistar plastik yang mendarat di betis kita? Kenangan itu mungkin pernah menjadi bahan candaan saat reuni sekolah. Namun, apakah kita menyimpan dendam terhadap guru kita? Saya berani menebak, jawabannya pasti tidak.

Sekarang, zaman sudah berubah. Dulu, guru begitu disegani; kini, mereka sering kali tak lagi dihargai. Ketika murid melakukan kesalahan, guru tak lagi berani memberi hukuman karena takut terkena masalah hukum. UU Perlindungan Anak sering kali menjadi alasan bagi sebagian orang tua untuk melindungi anak mereka dari hukuman guru. Akibatnya, murid pun menjadi terlalu manja.

Masih segar dalam ingatan kita kasus guru agama di Sumbawa Barat yang dipolisikan dan dituntut 50 juta oleh orang tua murid karena mendisiplinkan murid yang enggan salat zuhur berjamaah. Atau kasus di Bengkulu, di mana seorang guru menjadi korban kekerasan, diketapel matanya oleh orang tua murid setelah menegur murid yang merokok. Ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus kriminalisasi guru di negeri ini.

Kondisi ini sangat berbeda dengan zaman dulu. Saat guru menghukum murid karena tidak disiplin, orang tua biasanya menerima tindakan tersebut, bahkan mungkin ikut menegur anaknya. Orang tua zaman dahulu sangat mempercayai guru, karena mereka yakin guru tidak akan memberikan hukuman tanpa alasan yang jelas.

Kini, para guru berada di persimpangan antara tanggung jawab untuk mendidik atau sekadar mengajar. Kesalahan sedikit saja bisa berujung pada masalah hukum. Akibatnya, banyak guru yang memilih untuk tidak lagi peduli pada akhlak murid. Mereka hanya fokus pada jam mengajar yang harus dipenuhi. Padahal, tujuan besar pendidikan adalah memanusiakan manusia.

Orang tua yang tidak terima anaknya dihukum mungkin berpikir bahwa bukan zamannya lagi mendisiplinkan anak dengan hukuman. Mereka mungkin berpandangan bahwa kesalahan adalah hal yang wajar, seperti slogan “kotor itu baik,” sehingga cukup ditangani dengan pendekatan positif. Dalam dunia pendidikan, pendekatan ini dikenal sebagai disiplin positif.

Tidak ada yang salah dengan disiplin positif, tetapi penting untuk diingat bahwa teori ini adalah hasil pemikiran manusia yang dalam penerapannya mungkin tidak selalu cocok dengan setiap situasi. Anak-anak memiliki karakter yang berbeda-beda, sehingga cara penanganannya pun berbeda. Ada anak yang bisa diatasi dengan pendekatan lembut, namun ada juga yang perlu hukuman untuk mendisiplinkannya. Penting untuk dicatat bahwa hukuman tidak sama dengan kekerasan. Hukuman yang diberikan secara wajar adalah sah, asalkan tetap dalam batas kewajaran.

Dalam Islam, konsep ini dikenal dengan istilah ta’dib, yang berarti proses pendidikan yang fokus pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak. Berdasarkan konsep ini, tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi juga membentuk akhlak murid, termasuk meluruskan ketika murid melakukan kesalahan.

Islam sangat menekankan pentingnya pembentukan akhlak, bahkan lebih tinggi dari ilmu. Dalam hal sholat, misalnya, Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk mengajari anak sholat sejak usia tujuh tahun. Jika di usia sepuluh tahun anak masih meninggalkan sholat, Nabi memerintahkan untuk memberikan pukulan, tentu dengan cara yang tepat dan tidak berlebihan.

Meskipun hukuman dibolehkan dalam pendidikan, guru harus tetap memperhatikan jenis kesalahan murid. Tidak semua kesalahan layak mendapatkan hukuman yang sama. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk memahami jenis kesalahan murid agar dapat memberikan koreksi yang tepat.

Dalam bukunya Prophetic Parenting: Cara Nabi SAW Mendidik Anak, Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid menjelaskan bahwa kesalahan anak pada dasarnya terbagi menjadi tiga: pertama, kesalahan dalam pemahaman, di mana anak belum memahami sesuatu dengan benar; kedua, kesalahan dalam aplikasi, di mana anak belum terlatih dengan baik dalam melakukan sesuatu; ketiga, kesalahan yang terjadi karena anak sengaja melakukannya atau karena memiliki jiwa pemberontak.

Setiap jenis kesalahan membutuhkan penanganan yang berbeda. Kesalahan pertama dan kedua mungkin lebih mudah ditangani, tetapi kesalahan ketiga memerlukan ketegasan agar anak menyadari bahwa apa yang dilakukannya salah.

Meskipun hukuman dibolehkan, pelaksanaannya tetap harus mengikuti tahapan dan tata cara yang baik. Tahapan yang dianjurkan adalah memberi teguran dan nasihat terlebih dahulu. Jika tidak berhasil, barulah diberikan hukuman dengan cara yang wajar. Hukuman tidak boleh membahayakan anak, dan jika berupa pukulan, harus dilakukan dengan hati-hati, tidak keras, tidak pada organ vital, dan tidak dengan emosi. Hukuman fisik seperti ini hanya boleh diberikan kepada anak usia sepuluh tahun ke atas.

Imam Ghazali pernah berkata, “Jika anak-anak diabaikan sejak awal pertumbuhannya, biasanya mereka akan tumbuh dengan perangai buruk.” Karena itu, penting untuk meluruskan perilaku anak sejak dini.

Orang tua dan guru perlu memahami bersama betapa pentingnya hukuman yang tepat dalam pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang baik antara keduanya. Orang tua perlu memberikan kepercayaan penuh kepada guru dalam mendidik anak-anak mereka, tanpa membatasi kemerdekaan guru dalam menjalankan tanggung jawabnya. Sebagai pihak yang telah menerima kepercayaan dari orang tua, guru harus menjaga amanah tersebut dengan sungguh-sungguh, mendidik murid seperti mendidik anak sendiri. Dengan demikian, harmoni antara kasih sayang dan pendidikan dapat tercapai, dan tujuan pendidikan yang diharapkan bisa diwujudkan.

Pos terkait