Kenaikan UKT: Mencari Keadilan Mahasiswa dalam Kemewahan Rektorat

Oleh: Muhamad Zidan Afandy, Mahasiswa Teknologi Rekayasa Logistik Politeknik Astra

Belakangan ini banyak sekali kasus kenaikan uang kuliah tunggal atau UKT pada perguruan tinggi negeri, seolah-olah biaya pendidikan di Indonesia disulitkan. Berdasarkan berita pada detik.com yang dilansir pada Sabtu, 18 Mei 2024 09:00 WIB, menyebutkan bahwa Kisruh UKT Naik, Kenaikan UKT Belum Sebanding dengan Fasilitas. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan di kalangan mahasiswa dan akademisi.

Bacaan Lainnya

Kebijakan ini menimbulkan polemik karena dianggap memberatkan mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek dari kenaikan UKT, dampaknya terhadap mahasiswa, dan apakah kenaikan ini sejalan dengan prinsip keadilan di tengah-tengah kemewahan rektorat.
Latar Belakang Kenaikan UKT

UKT merupakan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa untuk menutupi biaya operasional pendidikan di perguruan tinggi negeri. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi yang menaikkan UKT dengan alasan peningkatan biaya operasional dan kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan. Data menunjukkan bahwa kenaikan UKT di beberapa universitas mencapai 20-30% dalam lima tahun terakhir. Sebagai contoh, Universitas Indonesia (UI) menaikkan UKT dari Rp7 juta menjadi Rp9 juta per semester untuk beberapa program studi pada tahun 2024 (Kompas, 2024).

Dampak Kenaikan UKT Terhadap Mahasiswa

Kenaikan UKT memiliki dampak yang signifikan terhadap mahasiswa. Beberapa dampak tersebut antara lain:

Beban Finansial: Kenaikan UKT menambah beban finansial bagi mahasiswa dan keluarga mereka. Bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu, kenaikan ini bisa menjadi penghalang untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BEM UGM pada tahun 2024, sekitar 45% mahasiswa merasa kesulitan membayar UKT setelah kenaikan (BEM UGM, 2024). Sebuah penelitian di Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan bahwa 60% mahasiswa harus mencari pinjaman atau beasiswa tambahan untuk menutupi kenaikan biaya (Institut Teknologi Bandung, 2024).

Stres dan Tekanan: Beban finansial yang meningkat dapat menambah stres dan tekanan bagi mahasiswa. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap prestasi akademik dan kesehatan mental mereka. Studi dari Universitas Airlangga (UNAIR) menunjukkan bahwa 30% mahasiswa mengalami penurunan prestasi akademik setelah kenaikan UKT pada tahun 2024 (Universitas Airlangga, 2024). Survei di Universitas Diponegoro (UNDIP) menemukan bahwa 35% mahasiswa mengalami kecemasan berlebih terkait masalah finansial (Universitas Diponegoro, 2024).

Ketidaksetaraan Akses Pendidikan: Kenaikan UKT dapat memperlebar kesenjangan akses pendidikan tinggi antara mahasiswa dari keluarga kaya dan miskin. Mahasiswa dari keluarga kurang mampu mungkin harus bekerja paruh waktu untuk membiayai pendidikan mereka, yang pada akhirnya dapat mengurangi waktu belajar dan berpengaruh pada hasil akademik mereka. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa yang bekerja paruh waktu meningkat sebesar 15% setelah kenaikan UKT pada tahun 2024 (Badan Pusat Statistik, 2024).

Kemewahan Rektorat dan Pertanyaan tentang Keadilan

Sementara mahasiswa menghadapi kenaikan UKT, beberapa rektorat universitas sering kali menunjukkan kemewahan dalam bentuk fasilitas mewah, gedung perkantoran yang megah, dan anggaran perjalanan dinas yang besar. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dalam pengelolaan anggaran pendidikan.

Transparansi Penggunaan Anggaran: Mahasiswa sering kali menuntut transparansi dalam penggunaan anggaran oleh pihak universitas. Mereka ingin mengetahui apakah kenaikan UKT benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau hanya untuk menambah kemewahan rektorat. Data dari Laporan Keuangan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menunjukkan bahwa anggaran untuk fasilitas rektorat meningkat sebesar 25% dalam tiga tahun terakhir (Laporan Keuangan UNY, 2024). Di Universitas Padjadjaran (UNPAD), anggaran untuk renovasi gedung rektorat juga mengalami peningkatan pada tahun 2024 (Universitas Padjadjaran, 2024).

Prioritas Pengeluaran: Kenaikan UKT seharusnya disertai dengan prioritas pengeluaran yang jelas. Anggaran pendidikan seharusnya lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan mahasiswa, seperti fasilitas belajar yang memadai, beasiswa, dan peningkatan kualitas pengajaran. Di Universitas Hasanuddin (UNHAS), hanya 40% dari total anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk kebutuhan mahasiswa, sementara 60% lainnya untuk operasional dan fasilitas (Universitas Hasanuddin, 2024).

Akuntabilitas Rektorat: Rektorat perlu menunjukkan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Mahasiswa berhak mengetahui bagaimana uang mereka digunakan dan apakah penggunaan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dijanjikan. Sebuah laporan dari Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa hanya 35% universitas negeri yang memiliki laporan keuangan yang transparan dan akuntabel pada tahun 2024 (Transparency International Indonesia, 2024).
Mencari Solusi yang Adil

Untuk mencapai keadilan dalam kenaikan UKT, perlu adanya dialog yang konstruktif antara mahasiswa, rektorat, dan pihak terkait lainnya. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain:

Transparansi dan Akuntabilitas: Rektorat harus transparan dalam pengelolaan anggaran dan menunjukkan akuntabilitas dalam setiap penggunaan dana. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan mahasiswa terhadap kebijakan yang diambil.

Peningkatan Beasiswa dan Bantuan Finansial: Universitas perlu meningkatkan jumlah beasiswa dan bantuan finansial bagi mahasiswa yang membutuhkan. Hal ini dapat membantu meringankan beban finansial mereka. Data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) menunjukkan bahwa hanya 10% dari total anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk beasiswa pada tahun 2024 (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2024).

Evaluasi Kenaikan UKT: Kenaikan UKT harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak memberatkan mahasiswa dan tetap sesuai dengan prinsip keadilan. Di Universitas Sebelas Maret (UNS), evaluasi kenaikan UKT dilakukan setiap dua tahun sekali untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa (Universitas Sebelas Maret, 2024).

Partisipasi Mahasiswa dalam Pengambilan Keputusan: Mahasiswa perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan kenaikan UKT. Partisipasi aktif mereka dapat memastikan bahwa suara mereka didengar dan kebijakan yang diambil lebih adil dan berpihak pada kepentingan mereka.

Kenaikan UKT merupakan isu yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang holistik untuk mencapai solusi yang adil. Di tengah-tengah kemewahan rektorat, mahasiswa berhak menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Dengan dialog yang konstruktif dan partisipasi aktif dari semua pihak, diharapkan dapat tercipta kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada kepentingan mahasiswa.

Pos terkait