Oleh: Fatiyah Danaa Hidaayah, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Prioritas pendidikan di Indonesia tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan harusnya menjadi prioritas utama dalam kewajiban negara Indonesia mengurusi rakyatnya. Realitanya negara seolah lepas tangan dengan adanya UKT yang masih membebani banyak golongan masyarakat Indonesia.
Kasus Siti Aisyah contohnya, mahasiswi yang lulus jalur prestasi atau SNBP di Universitas Riau terpaksa mundur karena tak sanggup bayar UKT. Ia mendapatkan UKT golongan 5, yaitu dengan bayaran per semester 4.8 juta. Apalagi dengan perbincangan wacana bahwa UKT akan dinaikkan.
Ini menggambarkan negara dengan mudahnya tidak melaksanakan kewajibannya hingga rakyat harus mengais atau memutar otaknya sendiri untuk bagaimana bisa tetap berpendidikan atau bagaimana bisa menyekolahkan anak mereka sampai pendidikan tinggi.Walaupun pada akhirnya UKT naik tersebut dibatalkan oleh menteri Kemendikbud Nadiem Makarim.
Dikutip dari laman kemdikbud, anggaran pendidikan 2024 termasuk anggaran pendidikan tertinggi yaitu 20% dari APBN atau sebesar Rp660.8 Triliun. Namun, apakah anggaran tersebut sudah berbanding lurus dengan angka partisipan pendidikan? Apakah sudah benar dan menyeluruh anggaran tersebut tepat pada sasaran? Pada segelintir orang mungkin UKT 4.8juta masih terhitung affordable, tapi nyatanya di lapangan banyak yang tidak mampu. Sehingga muncul keraguan apakah negara serius dalam mengurusi pendidikan rakyatnya? Yang harusnya pendidikan menjadi sebuah investasi negara dalam mencerdaskan dan memajukan bangsa malah dihibahkan ke rakyat menjadi investasi individu.
Menurut sebuah penelitian, ada yang mengaitkan tingkat literasi dengan tingkat kriminalitas dan juga tingkat kesejahteraan, berikut juga dengan tingkat kesehatan. Bahwasanya ada andil dalam minimnya pendidikan dengan kondisi rakyat Indonesia saat ini. Semua ada korelasinya dengan tingkat pendidikan. Suatu hal yang menyedihkannya lagi adalah departemen pendidikan adalah salah satu departemen yang paling korup di Indonesia.
Pada akhirnya upaya yang dilakukan negara dalam kacamata mereka sudah maksimal, tetapi tidak ada wujud hasilnya sehingga menyebabkan negara memilih untuk lepas tangan dan menyerahkan urusan pendidikan ke individu, biar rakyat saja yang mengurus pendidikannya sendiri. Lantas begitu, apa gunanya pemerintahan? Apa gunanya negara? Pada hakikatnya pendidikan yang bermutu pastilah tidak murah, jadi bukan hal yang patut dipungkiri jika UKT atau biaya pendidikan lain jadi naik atau mahal di kantong rakyat.
Tetapi, negara harusnya ikut andil dalam meringankan beban rakyat yang ingin ikut berpartisipasi dalam pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan yang hendak diwujudkan oleh negara bukanlah individu.
Herannya dengan banyaknya kasus gen-Z yang menganggur dan mayoritas lowongan pekerjaan mengharuskan kandidat untuk minimal berpendidikan S1, mencerminkan seolah-olah hanya orang-orang kaya atau mampu yang berhak berpendidikan dan menjadi pintar yang akhirnya bisa mendapat pekerjaan dan kemudian dapat mengakses hal-hal lainnya yang bisa menopang hidupnya sehari-hari. Ini menandakan UKT mahal, pelajar miskin berprestasi terganjal.
Ini adalah potret kapitalisasi pendidikan dalam bangunan negara kapitalis dan abainya negara atas hak pendidikan rakyat miskin. Tapi bagaimana dengan pandangan dalam Islam? Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, yang disediakan negara dan diberikan dengan biaya murah bahkan bisa jadi gratis. Mencontoh dari kisah Rasulullah yang membebaskan tawanan perang asal mereka mengajarkan baca tulis kaum anshar saat itu. Karena memang sepenting itu pendidikan dalam Islam.
Pada hakikatnya dalam Islam inti tujuan pendidikan bukan untuk menjadikan umat pintar tetapi bagaimana pendidikan dapat membentuk kepribadian atau syakhsiyah yang islamiyah. Jika negara bisa menghasilkan rakyat yang ber-syakhsiyah islamiyah, maka dalam Islam negara sudah berhasil dalam aspek pendidikan. Alhasil pada saat umat sudah memiliki kepribadian atau karakter, akan memunculkan dan menyelesaikan banyak persoalan-persoalan dalam negara.
Problematikanya adalah dalam sistem yang mengedepankan kapitalisme ini, pendidikan tergeser posisinya ke dalam sifat yang tidak urgent. Hal ini dikarenakan pemerintahnya sibuk memperkaya diri dan melupakan kewajibannya sebagai suatu negara. Berbeda dengan sistem Islam yang memprioritaskan pendidikan seperti apa yang terjadi pada zaman Ustmani hingga guru bisa digaji 1 sampai 1.5 dinar emas per hari, dan itu setara dengan 4.5juta. Bayangkan bagaimana Islam sangat meninggikan pendidikan hingga dapat menggaji gurunya sebesar itu.
Bagaimana dalam sistem Islam sumber kekayaan negara bisa dialokasikan dengan benar sehingga tidak ada terjadi kesenjangan pendidikan maupun sosial. Maka dari itu sudah saatnya umat kembali kepada fitrahnya menjalankan Islam secara kaffah hingga ke ranah sistem pemerintahan di bawah naungan Khilafah. Hanyalah negara Islam atau Khilafah yang mampu serius menyediakan pendidikan murah bahkan gratis, karena pemerintahan yang berdasar kepada hukum syara akan selalu tunduk kepada Sang Pencipta dan tidak akan berani menzalimi rakyatnya. []