Oleh: Hana Sheila, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Beberapa waktu lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu menuai kritik dari warganet di media sosial, setelah beberapa orang mengaku dikenai bea masuk atau pajak atas kiriman barang dari luar negeri hingga ratusan juta rupiah. Salah satu kasus yang viral di antaranya pengiriman sepatu berharga Rp10 juta yang kena pajak Rp30 juta, pengiriman action figure, dan hibah alat pembelajaran tunanetra dari perusahaan Korea Selatan untuk sebuah sekolah luar biasa (SLB) di Jakarta yang dikenai bea masuk sebesar Rp361 juta.
Akibatnya, akun media sosial bea cukai pun diserang warganet dengan menyebutnya sebagai tukang palak berseragam dan mafia terhormat. Mereka juga membandingkan dengan instansi lain di Indonesia, yakni Damkar dan TNI yang mereka nyatakan sebagai instansi yang dicintai rakyat.
Salah satu penyebab polemik bea cukai ini, diawali dari Permendag 36/2023 yang diklaim mengancam sejumlah komoditas impor yang Indonesia butuhkan. Menurut Mendag Zulkifli Hasan, revisi Permendag 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor telah selesai, kini berganti menjadi Permendag 7/2024. Ada tiga poin utama yang diubah dalam revisi tersebut, yakni barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI), aturan larangan dan pembatasan (lartas) impor barang serta barang bawaan penumpang dari luar negeri. Dalam Permendag 7/2024 terdapat beberapa komoditas yang tidak lagi masuk dalam lartas impor seperti premiks fortifikan atau bahan penolong tepung terigu, bahan baku industri, pelumas dan lainnya (Mengutif laman resmi Kemendag (30/4/2024).
Dalam laman yang sama, barang-barang seperti komputer, ponsel ataupun gawai lainnya menurut Zulkifli tetap mendapat pembatasan impor, khususnya pada bawaan penumpang dari luar negeri. Terkait dengan barang kiriman PMI, Permendag 7/2024 tidak lagi mengatur daftar jenis dan jumlah barang kiriman, asalkan sesuai ketentuan nilai barang yang ditetapkan, yakni 1.500 dolar AS per tahun per PMI. Sementara untuk barang bawaan penumpang luar negeri, aturannya akan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), khususnya perihal ketentuan barang yang bebas bea masuk dan pajak.
Dengan naiknya bea cukai, masyarakat pun banyak yang kecewa. Hal tersebut disampaikan pula oleh Pengamat kebijakan publik Dr. Fahrur Ulum, M.E.I. Ia menilai banyak kekecewaan di tengah masyarakat kepada institusi bea cukai, apalagi pengawasan yang ada sifatnya internal, karena terkadang ada oknum (petugas) yang memanfaatkan kelemahan-kelemahan dari objek cukai. Misalnya, barang tertentu sebenarnya tidak masuk dalam barang mewah, tetapi karena ada peraturan yang membicarakan tentang barang mewah ini, diinformasikan sebagai barang mewah dengan tarif yang sangat tinggi.
Belum lagi, masyarakat ditakut-takuti. “Kalau mengikuti aturan yang ada nanti biayanya sampai segini, maka bagaimana kalau kemudian “diatur” bersama dan sebagainya. Nah, kemudian juga kadang kala ada intimidasi,” tuturnya. Selain itu, menurutnya saat ini untuk para importir dilakukan self assesment yang peluang terjadinya kongkalikong atau persekongkolan antara importir dengan petugas bea cukai.
Inilah kondisi negara akibat paradigma sistemis dari bea cukai yang ada di dunia, termasuk di negeri ini yang berbasis pada ekonomi kapitalistik. Bisa jadi, barang-barang haram bisa lolos karena undang-undang membolehkannya asalkan membayar cukai.
Dalam paradigma sistem ekonomi kapitalisme, bea cukai diposisikan sama dengan pajak, bahkan sama-sama menjadi sumber utama APBN. Tidak heran, penampilan bea cukai dan pajak tidak ubahnya lahan bisnis penguasa terhadap rakyatnya. Pantaslah jika kedua instansi yang bersangkutan disebut instansi ‘pemalakan legal’ atas rakyat. Fenomena ini bisa kita katakan ironi karena saat ini tingkat inflasi sedang tinggi, sedangkan sektor-sektor publik, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan migas juga sarat kapitalisasi. Ini menggambarkan hubungan rakyat dengan penguasa benar-benar seperti penjual dan pembeli.
Jika sektor pajak dan bea cukai juga lantas menjadi andalan penguasa untuk mengisi kas APBN, ‘pemalakan legal’ tadi justru bisa lebih parah, yakni menjadi perampokan harta rakyat oleh negara. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi Islam, sejatinya terdapat perbedaan antara posisi pajak dengan bea cukai dalam postur penerimaan negara, begitu pula tata cara pemungutannya. Namun, porsinya bukanlah sebagai sumber utama kas negara karena masih ada jalur lain yang menjadi pemasukan kas negara (Khilafah), yakni zakat, ghanimah, fai, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz, serta tambang.
Pada saat yang sama, sektor-sektor publik dalam Khilafah bersifat memudahkan dan menyejahterakan rakyat, serta bisa gratis karena dikelola berdasarkan mandat kekuasaan yang mengurusi urusan umat. Dengan kata lain, ini menegaskan bahwa hubungan penguasa dengan rakyat di dalam Khilafah tidak menurut paradigma bisnis.
Dalam Islam, bukannya tidak ada pajak (dharibah), hanya saja, sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan syariat untuk baitul mal (kas negara) tadi sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka, tanpa harus mengandalkan pajak. Pajak juga bukan harta yang diwajibkan oleh Allah atas kaum Muslim dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
Dalam Khilafah, pemungutan pajak sifatnya benar-benar kondisional, yakni saat kas negara kosong, dan hanya dikenakan kepada orang kaya. Sementara itu, bea cukai, dalam Islam penyebutannya hanya cukai (maks) ialah harta yang diambil dari komoditas yang melewati perbatasan negara, baik keluar maupun masuk. Keberadaan cukai ini sebagai kebijakan politik dalam muamalah demi kepentingan kaum Muslim.
Pemungutan bea masuk perdagangan, dalam daulah Islam disesuaikan dengan perbedaan pelaku bisnisnya, bukan komoditasnya. Jika pelaku bisnisnya rakyat, baik Muslim maupun kafir dzimmi, komoditas mereka tidak dikenai pungutan apa pun. Kondisi ini berlaku jika komoditas tersebut masuk ke wilayah Khilafah maupun keluar ke wilayah dar kufur, dengan syarat tidak untuk membantu mereka melawan kaum Muslim.
Untuk diketahui, status daar kufur ini adalah yang secara de jure (secara hukum) memerangi kaum Muslim, bukan secara de facto (secara fakta) sebagaimana 15r43l sehingga haram menjalin hubungan perdagangan dengannya. Selanjutnya, jika pelaku bisnisnya adalah kafir mu’ahid, mereka akan dikenai cukai sesuai dengan isi naskah perjanjian negeri mereka dengan Khilafah. Adapun bagi pelaku bisnis dari negara kafir harbi, Khilafah akan memungut cukai dari mereka sesuai yang negara mereka pungut dari para pelaku bisnis warga Khilafah.
Namun, cukai yang dipungut dari kafir harbi ini mengikuti ketentuan kepentingan Khilafah. Artinya, pemungutan itu bisa diberlakukan, baik dalam nominal yang sedikit maupun banyak, atau malah dibebaskan. Hanya saja dengan catatan, nominal tersebut tidak boleh melebihi jumlah yang negara kafir harbi itu pungut dari pelaku bisnis warga Khilafah.[]