DEPOKPOS – Cantik merupakan anugrah. Secara fitrah setiap perempuan pasti ingin menjadi cantik. Selain menjaga penampilan agar terkesan enak dipandang, cantik juga mempengaruhi rasa percaya diri kaum perempuan, sehingga aktivitasnya mampu dijalani dengan baik.
Cantik merupakan dambaan dari semua perempuan. Melihat banyaknya fenomena yang sedang berkembang di masyarakat, kecantikan merupakan salah satu hal yang dilihat sebelum mengetahui seseorang. Banyak definisi terkait cantik yang ada di masyarakat. Terdapat masyarakat yang mengatakan bahwa cantik itu seseorang yang berkulit putih.
Standar kecantikan indonesia ialah yang berkulit putih ‘cewe itu harus putih’ perempuan yang berkulit putih sudah pasti di bilang cantik. Tuntutan yang dibangun oleh media dan menjadi tekanan bagi perempuan yakni perempuan harus mempunyai kulit putih.
Kita dapat melihat dari adanya iklan-iklan kecantikan yang masih banyak menggunakan model perempuan yang memiliki kulit putih dan adanya adegan kulit yang berubah menjadi putih setelah menggunakan produk tersebut.
Dengan adanya standar kecantikan ini banyak orang jadi tidak percaya diri. Orang yang kurang percaya diri seringkali memiliki berbagai anggapan negatif tentang diri mereka sendiri. Anggapan-anggapan negatif itu dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional dan sosial seseorang.
Indonesia merupakan negara dengan beragam suku, ras, dan budaya. Kita lahir dari keluarga yang tentunya memiliki ras, suku, dan budaya yang berbeda. Perempuan Jawa tentu memiliki kecantikan yang berbeda dengan perempuan dari Lombok, Minang, atau pun Papua.
Namun, masing-masing memiliki karakter kecantikan sendiri. Kulit yang kita miliki yang berasal dari faktor geografis dan faktor keturunan baik itu putih, sawo matang, hitam, maupun warna lainnya bukanlah suatu petaka bagi kita.
Masyarakat yang bisa menghargai keindahan dalam segala bentuknya akan menciptakan lingkungan yang lebih toleran, empati, dan suportif bagi individu, sehingga memungkinkan mereka merasa percaya diri dan diterima tanpa perlu mengikuti standar yang tidak realistis.
Muthia Shabryah Mahasiswi Universitas Pamulang