Pemerataan Pendidikan Berkualitas dengan Zonasi, Mungkinkah?

Oleh: Esty Rubiyanti, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Pendidikan yang merata dan berkualitas masih menjadi PR besar bagi negeri ini. 7 tahun lalu sebuah aturan terkait penerimaan siswa didik baru yang disebut sistem zonasi di jenjamg SD hingga SMA diberlakukan di negeri ini. Peraturan tersebut diatur dalam Permandikbud Nomor 14 tahun 2018. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah dapat menghilangkan stigma sekolah favorit, perataan pendidikan dan memberikan peluang sekolah bukan favorit untuk berproses lebih unggul. Namun, pemerataan pendidikan berkualitas dengan zonasi, mungkinkah?

Bacaan Lainnya

Namun sejak diberlakukan sistem zonasi ini, bukannya munculkan perbaikan kualitas dan pemerataan pendidikan, justru dibayangi oleh praktik-praktik curang. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya telah ditemukan berbagai kecurangan dalam bentuk KK palsu, alat domisili yang tidak sesuai KK hingga praktik suap jual beli kursi.

Di Jawa Barat, pelaksana harian kepala dinas pendidikan Ade Afeiandi menemukan modus penggunaan satu alamat domisili oleh delapan KK yang didaftarkan di sistem PPDB dan enam pendaftar yang menggunakan satu alamat domisili yang sama. Modus lainnya adalah beberapa orang tua siswa ditemukan menggunakan alamat domisili yang pemiliknya sudah meninggal.

Sementara di Jawa Tengah sebanyak 32 aduan terkait masalah pendaftaran PPDB 2024 telah masuk melalui Ombudsman. Kepala Ombudsman Siti Farida menyebutkan aduan terbanyak terkait kuota penerimaan melalui jalur afirmasi. Banyak masyarakat yang mempertanyakan terkait data siswa tidak mampu.kurangya daya tampung sekolah negeri sejatinya menbah persoalan PPDB.

Beberapa kalangan menilai alasan zonasi untuk pemerataan dan ketersediaan pendidikan yang berkualitas selayaknya harus ditinjau ulang. Mengingat realita di lapangan yang justru membawa banyak praktik buruk. Apalagi faktanya pemerataan dan kualitas pendidikan yang didengungkanpun tak menjadi nyata.

Sengkarut sistem PPDB ini sejatinya tidak lepas dari tata kelola pendidikan yang masih berada di bawah naungan sistem sekular kapitalis. Inilah yang menjadi akar pesoalan yang sesungguhnya. Sistem pendidikan sekular kapitalis meniscayakan pendidikan mahal sehingga sulit diakses masyarakat, sebab pendidikan sistem ini dianggap sebagai jasa yamg bisa dikomersilkan. Ditambah lagi sistem pendidikan yang dipayungi ideologi kapitalisme ini telah menempatkan negara sebagai regulator bukan pengurus urusan rakyat.

Penerapan sistem politik demokrasi kapitalis ini meniscyakan liberalisasi dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali pendidikan. Dan hasilnya adalah pihak swasta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk terlibat aktif dalam pendidikan, termasuk dalam penyediaan sarana prasarana pendidikan. Pemerintah memandang kurangnya daya tampung yang disediakan mengharuskan pemerintah bermitra dengan swasta. Padahal dalam sistem kapitalisme, pendidikan acap kali dijadikan alat pengeruk keuntungan. Sementara negara lepas tangan dari tanggung jawabnya menyediakan dan memfasilitasi pendidikan bagi warga negaranya.

Oleh karena itu selama yang ditetapkan masih sistem kapitalisme, perataan pendidikan tidak akan pernah tuntas. Rakyat akan terus merasakan ketidakadilan dan kecurangan.

Berbeda dengan sistem Islam dalam khilafah. Kepala negara atau khalifah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana dalam pendidikan, karena Islam telah menempatkan negara sebagai penanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat.

Negara bertanggung jawab memberikan sarana dan prasarana baik gedung sekolah dan perlengkapnnya, guru kompeten, kurikulum shahih maupun konsep tata kelola sekolahnya. Sebagai penanggung jawab, negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta.Walaupun demikian sekolah swasta tetap diberikan untuk hadir memberikan kontribusi dalm bidang pendidikan, namun tidak sampai mengambil alih tanggung jawab negara.

Adapun persoalan anggaran pendidikan, khilafah mengatur secara sentralisasi. Seluruh biaya pendidikan berasal dari baitul maal. Dengan mekanisme ini negara mampu memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan rakyatnya. Alhasil, pendisikan Islam menjamin pemerataan pendidikan di seluruh wilayah negara baik di perkotaaan dan di pedesaan.

Dalam kondisi yang dikelola secara baik oleh negara baik secara kualitas dan kuantitas, keberlangsungan pendidikan akan berjalan secara khidmat tanpa kisruh. Khilafah berpegang pada 3 prinsip, yakni kederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini, kerumitan pendaftaran sekolah akan bisa diminimalisasi dan pendidikan yang berkualitas dan merata akan dapat terwujud dan dirasakan oleh semua warga negaranya. []

Pos terkait