Oleh: Ismi Balza Azizatul Hasanah, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
Perekonomian Indonesia tengah menghadapi tantangan sulit. Pemutusan hubungan kerja atau PHK bertebaran di mana-mana. Buruh perkantoran hingga pabrik dihantui oleh perusahaan tempatnya bekerja. Perusahaan hasil penggabungan Tokopedia dan Tiktok Shop di bawah pengelolaan ByteDance mengumumkan kebijakan PHK. Namun, perusahaan enggan mempublikasikan jumlah pekerja yang terkena PHK.
Menurut Bloomberg, terdapat 450 orang dari 5.000 orang total karyawan ByteDance di Indonesia di PHK. Direktur Corporate Affairs Tokopedia dan Shop Tokopedia, Nuraini Razak mengatakan kebijakan PHK harus dilakukan untuk mendukung strategi pertumbuhan perusahaan ecommerce anak usaha ByteDance tersebut. Sementara itu, di pabrik-pabrik, PHK sudah banyak terjadi di sektor tekstil, garmen, hingga alas kaki karena operasionalnya berhenti, alias tutup. Salah satunya pabrik garmen di daerah Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ada 3.000 buruh yang terpaksa harus kehilangan pekerjaannya, imbas dari penghentian operasional pabrik garmen ini (CNBC Indonesia, 15/06/2024).
Dampak dari PHK ini tidak hanya dirasakan oleh buruh pabrik, namun juga oleh masyarakat di sekitar pabrik. Dilangsir dari cnbcindonesia.com (13/06/2024), seorang kepala dusun yang tempat tinggalnya persis di samping pabrik, terpaksa harus menjual beberapa unit kontrakannya karena sepi tidak ada yang menyewa. Tidak hanya itu, hal ini juga dirasakan oleh Ibu Euis Mawati, pemilik usaha katering dan kantin yang masih berada di kawasan pabrik pun mengaku ikut terkena dampaknya. Ia terpaksa harus menutup usahanya dan merumahkan karyawannya, ketika mendapatkan kabar bahwa pabrik yang biasanya menjadi sumber orderan, kini sudah tutup.
Fakta gelombang PHK akibat ekonomi dunia yang sulit tidak bisa dikendalikan. Padahal penguasa di masa kampanye pernah berjanji akan menciptakan lapangan pekerjaan, namun yang terlihat janji itu tidak terwujud. Parahnya, penguasa malah mengesahkan UU Ciptaker baru yang melegalkan mekanisme outsourcing, padahal mekanisme ini semakin menyusahkan rakyat.
Dengan adanya gelombang PHK dan sikap penguasa saat ini semakin memperlihatkan atas kezaliman sistem Kapitalisme yang dianut penguasa saat ini. Sistem Kapitalime memandang buruh sebagai bagian dari faktor produksi. Pandangan ini terus membuat mereka menjadi korban PHK dengan alasan efesiensi bagi perusahaan demi menekan biaya produksi. Mereka terzalimi namun tidak dianggap oleh negara. Sebab sistem Kapitalisme mengerdilkan peran negara, karena campur tangan negara dianggap mengganggu mekanisme pasar. Alhasil, negara Kapitalisme berperan sebagai regulator dan fasilitator para investor. Para pemilik modal besar lah yang berkuasa dan bisa mengendalikan segalanya. Itu mengapa terjadi iklim bisnis yang tidak sehat dan berujung pada gelombang PHK masal.
Sejatinya, fenomena PHK membutuhkan negara yang memiliki pemahaman ra’awiyah. Pemahaman ini akan mengantarkan negara memahami posisinya sebagai pengurus seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurus rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Dengan adanya pemahaman ra’awiyah di dalam negara, maka akan membuat negara melaksanakan perintah syari’at untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Sedangkan syari’at Islam sendiri memiliki berbagai metode yang ditetapkan hukum syara’ dengan penerapan sistem ekonomi dan politik Islam, untuk menjamin kesejahteraan umat manusia.
Politik dalam negeri Islam membuat negara wajib mengatur mu’amalah, menegakkan hudud (hukuman), memelihara akhlak, menjamin tegaknya syi’ar-syi’ar ibadah, dan mengatur urusan rakyat sesuai dengan syari’at Islam. Dalam negeri Islam, mewajibkan negara menjamin terciptanya iklim usaha yang sehat agar gelombang PHK dapat teratasi. Jaminan tersebut dapat melalui qanun atau undang-undang yang ditetapkan negara.
Ketika keberadaan qanun sesuai syari’at, insayAllah masyarakat akan mendapatkan kemaslahatan. Penerapan ekonomi Islam akan membuat masyarakat mendapatkan jaminan atas terpenuhinya kebutuhan mereka, seperti kebutuhan bekerja. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki, karena dengan bekerja laki-laki dapat memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya. Jaminan pekerjaan tersebut bukan hanya slogan, namun nyata diwujudkan.
Negara bisa membuka lowongan pekerjaan dari sektor industri milik negara, memberikan iqtha’ (tanah milik negara yang diberikan kepada individu rakyat untuk dikelola), dan berasal dari sektor pengelolaan SDA. Dalam Islam, pengelolaan SDA wajib di tangan negara, haram hukumnya jika dikuasai oleh swasta. Dengan begitu, negara bisa menyerap tenaga ahli dan terampil dari rakyatnya.
Di sisi lain, sistem ekonomi Islam juga membuat negara berperan aktif dalam menjaga iklim usaha yang kondusif. Peran tersebut diwujudkan dengan kebijakan yang mengharamkan sektor ekonomi non rill, seperti pasar saham, investasi, pasar modal, dan sejenisnya berkembang. Para pendistorsi pasar seperti para mafia, spekulan, dan kroni-kroninya akan ditindak tegas dengan sanksi ta’zir oleh negara. Akad antara perusahaan dan buruh diatur menggunakan akad ijarah, sehingga keduanya tidak terzalimi satu dengan yang lain. Mekanisme ekspor dan impor juga diatur menggunakan prinsip syari’ah.
Dengan kebijakan demikian, tentu suasana bisnis di sektor ekonomi rill dapat tumbuh dan berkembang hingga terus menyerap tenaga kerja. Namum semua kebijakan ini dapat terwujud apabila negara mengambil syari’at Islam secara kaffah, dan tentu saja negara tersebut bukan negara Kapitalisme, melainkan negara Khilafah. []