Oleh: Anggi Anggraini, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
PT Republika Media Mandiri atau Republika mengumumkan pemutusan hubungan kerja atau PHK massal atas 60 karyawan bulan ini. Menurut Pemimpin Redaksi Republika, Elba Damhuri, PHK itu menyusul langkah serupa yang sebelumnya terjadi di akhir tahun lalu (bisnis.tempo.co, 10/52024). Selanjutnya, PT Sepatu Bata Tbk (BATA) melakukan PHK terhadap 233 pekerja atau buruh langsung imbas penghentian salah satu pabrik sepatu di daerah Purwakarta (cnbcindonesia.com, 8 Mei 2024).
Keputusan PHK sebenarnya memberikan dampak signifikan terhadap pekerja yang kehilangan mata pencaharian. Padahal Pasca pandemi, mencari pekerjaan semakin sulit. Kini, dengan adanya PHK berpotensi semakin memperburuk kehidupan rakyat, karena akan menciptakan masalah baru yaitu pengangguran. Padahal, kebutuhan hidup semakin meningkat, harga-harga barang maupun jasa semakin mahal. Tentu kehidupan rakyat akan semakin sulit.
Gelombang PHK massal dan sulitnya mencari pekerjaan pasca pandemi bukanlah hal yang baru kita temui, dan kian hari fenomena ini hampir memperburuk kehidupan masyarakat. Bahkan, PHK massal di tengah kebutuhan masyarakat yang makin mahal. Gambaran nyata yang hari ini terjadi mencerminkan buah dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis-sekularisme. Dalam sistem ini, para pengusaha memiliki keleluasaan untuk membuat kebijakan perekrutan dan PHK tanpa memikirkan dampak sosial terhadap pekerja. Keleluasaan dalam membuat kebijakan itu lebih menitikberatkan pada kelangsungan dan keuntungan pengusaha dan perusahaannya.
Selain itu, peran negara sebagai pelindung rakyat tidak dijalankan dengan optimal. Seharusnya fungsi negara menyediakan lapangan pekerjaan dan melindungi hak-hak pekerja. Tapi, justru kebijakan yang diterbitkan sering kali mendukung kepentingan swasta dan pengusaha besar. Salah satu contohnya adalah pengesahan UU Cipta Kerja yang kontroversial, yang menurut banyak pihak lebih menguntungkan pengusaha daripada pekerja.
UU Cipta Kerja, yang dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja, justru mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dan memperlemah posisi tawar pekerja. Kebijakan ini dianggap menyulitkan rakyat dalam mencari pekerjaan yang layak dan aman. Selain itu, negara juga membuka pintu lebar-lebar bagi investor asing untuk menguasai sumber daya alam (SDA) dan mendirikan perusahaan dengan kebebasan penuh dalam menentukan tenaga kerja, termasuk mendatangkan pekerja dari negara asal mereka.
Akibatnya, peluang kerja bagi rakyat lokal menjadi sangat terbatas. Sebagian besar dari mereka hanya mendapatkan pekerjaan sebagai buruh dengan upah rendah, sementara pekerjaan yang lebih baik dan berpenghasilan tinggi lebih sering diisi oleh tenaga kerja asing atau segelintir tenaga kerja lokal yang beruntung. Ini menimbulkan ketidakadilan sosial dan ekonomi di masyarakat, karena sebagian besar penduduk bekerja keras dengan upah minim sementara keuntungan besar dinikmati oleh segelintir pengusaha dan investor. Lantas, di mana lagi rakyat bisa mendapatkan keadilan dan kesejahteraan?
Kondisi hari ini sangatlah berbeda jauh dengan kehidupan Islam yang menerapkan syariat Islam secara sempurna. Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesai-kan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi.
Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka.
Oleh karena itu, Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara.
Dalam Islam yang wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya adalah negara. Negara menyelesaikan permasalahan pengangguran dan tidak bergantung pada swasta. Negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, mulai dari kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersiernya. Dengan metode pengembangan tiga sektor industri, yaitu industri berat, industri strategi berbasis militer dan di bidang ekonomi, negara mampu mengayomi kebutuhan rakyatnya.
Selain itu, mekanisme kepemilikan yang baku dalam sistem Islam menjadikan kepemilikan swasta dibatasi hanya pada apa-apa yang dibolehkan oleh syariat. Syariat membaginya menjadi tiga bagian, kepemilikan individu, umum dan negara. Dengan demikian, swasta apalagi asing tidak bisa mencaplok kepemilikan umum. Hal tersebut untuk mencegah adanya hegemoni perekonomian dari pihak kuat pada yang lemah. Sehingga, tak ada lagi perusahaan yang menggurita bahkan mengeksploitasi SDA.
Selain itu, negara yang mengelola SDA-nya sendiri akan mampu mengurusi umat dan mendatangkan sumber pemasukan baitul mal yang melimpah. Untuk menjalankan politik ekonomi islam berikut mekanismenya yang diatur oleh syariat, maka diperlukan negara yang berdaulat berlandaskan Islam, yaitu Khilafah. []