DEPOKPOS – Shalat Istikharah adalah shalat sunah yang dilakukan untuk memohon petunjuk kepada Allah atau dipilihkan antara beberapa pilihan yang paling baik untuk dilaksanakan. Shalat ini sangat penting untuk dilaksanakan karena manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat butuh pertolongan Allah dalam setiap urusannya.
Setinggi apapun ilmu yang dimiliki, manusia tidak akan mengetahui perkara yang gaib. Ia juga tidak mengetahui manakah kejadian yang baik dan buruk pada masa yang akan datang.
Seorang muslim sangat yakin dan tidak ada keraguan sedikitpun bahwa yang mengatur segala urusan adalah Allah Ta’ala. Dialah yang menakdirkan dan menentukan segala sesuatu sesuai yang Dia kehendaki pada hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (68) وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ (69) وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ – القصص : 68 – 70
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan” [QS. al-Qashash: 68-70].
Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya agar diberikan petunjuk untuk memperoleh kebaikan bagi kehidupannya dan terhindar dari keburukan. Cara yang terbaik dalam memohon pertolongan kepada Allah SWT adalah melalui shalat, sebagaimana hal ini difirmankan Allah SWT di dalam al-Qur’an yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ – البقرة : 153
“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [QS. al-Baqarah: 153].
Untuk melaksanakan perintah Allah SWT di atas, seorang muslim haruslah mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. Sebab, Beliaulah satu-satunya orang yang diutus Allah SWT untuk menjelaskan tata-cara yang benar dalam berkomunikasi antara hamba dengan Penciptanya. Sebaliknya, seorang muslim harus menjauhi tata-cara di luar petunjuk Rasulullah SAW, sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat jahiliyah sebelum datangnya Islam. Ketika akan melakukan suatu pekerjaan, mereka menentukan pilihan dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah SWT melarang cara-cara semacam ini, dan kemudian diganti dengan shalat istikharah.
Dasar Hukum Shalat Istikharah
Tuntunan shalat istikharah didasarkan pada hadits sahih yang bersumber dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah r.a. Dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ
Rasulullah SAW mengajari kami shalat istikharah dalam setiap perkara atau urusan yang kami hadapi, sebagaimana Beliau mengajarkan kami suatu surat dari al-Qur’an. Beliau berkata: “Jika salah seorang di antara kalian berniat dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua rakaat yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah…”. [HR. al-Bukhari].
Berdasarkan hadits di atas, al-‘Allamah al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa “sebagian ulama menjelaskan: tidak sepantasnya bagi orang yang ingin menjalankan di antara urusan dunianya sampai ia meminta pada Allah pilihan dalam urusannya tersebut yaitu dengan melaksanakan shalat istikharah. Jadi, shalat istikharah adalah salah satu amalan yang biasa dilakukan oleh seorang muslim setiap akan melakukan suatu urusan.
Namun demikian, para ulama bersepakat bahwa shalat istikharah bukan termasuk amalan wajib (fardlu), melainkan dianjuran (mustahab/sunah). Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW tersebut di atas yang berbunyi: “maka lakukanlah shalat dua rakaat yang bukan shalat wajib”. Selain itu, pendapat ini juga didasarkan pada jawaban Rasulullah SAW ketika seorang laki-laki bertanya tentang Islam. Beliau SAW menjawab: “shalat lima waktu sehari semalam”. Lalu ia tanyakan pada Nabi SAW:
هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ « لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »
“Apakah aku memiliki kewajiban shalat lainnya?” Nabi SAW pun menjawab: “Tidak ada, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunah” [HR. Bukhari dan Muslim].
Tata-Cara Shalat Istikharah
Waktu Pelaksanaan
Shalat istikharah dapat dilakukan kapan saja, baik siang maupun malam hari, asalkan bukan pada 3 waktu yang terlarang untuk melakukan shalat, yakni ketika matahari terbit atau sedang berada di tengah atau sedang terbenam [HR. Jama’ah kecuali Bukhari]. Akan tetapi, jika shalat istikharah tidak bisa diundur atau dibutuhkan saat itu juga, maka sebagian ulama berpandangan bahwa hal itu boleh dikerjakan saat itu juga walaupun pada waktu yang terlarang.
Pandangan yang demikian itu didasarkan pada kebutuhan pelaksanaan shalat istikharah yang perlu dilakukan secepatnya. Dengan demikian, jadilah ia shalat sunah yang disyariatkan karena adanya sebab, sementara sudah dimaklumi bahwa waktu-waktu terlarang shalat ini tidak berlaku pada shalat-shalat sunah yang mempunyai sebab, seperti tahiyatul masjid, shalat sunah wudhu, dan semacamnya. Pandangan ini merupakan mazhab Imam asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah [Lihat, Majmu’ al-Fatawa: 23/210-215].
Jadi, pelaksanaan shalat istikharah tidak terikat dengan waktu tertentu, tetapi ia dilakukan ketika seseorang telah berniat atau bertekad melakukan suatu pekerjaan tertentu. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata هَمَّ dalam sabda Rasulullah SAW di atas yang memiliki arti berniat, juga pada isi doa istikharah yang menunjukkan telah adanya niat seseorang dalam mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, jika seseorang masih belum berniat untuk mengerjakan sesuatu atau masih ada beberapa pilihan yang akan dikerjakan, hendaklah ia terlebih dahulu berniat atau menentukan pilihannya, lalu lakukanlah istikharah.
Pekerjaan yang dimaksud berkaitan dengan perkara-perkara yang mubah, bukan yang wajib dilaksanakan, atau haram dilakukan. Dalam hal ini, al-Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam “al-Fath” (11/220); “Ibnu Abi Hamzah berkata: amalan yang wajib dan yang sunah tidak perlu melakukan istikharah dalam melakukannya, sebagaimana yang haram dan makruh tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya. Maka urusan yang butuh istikharah hanya terbatas pada perkara yang mubah dan dalam urusan yang sunah jika di depannya ada dua amalan sunah yang hanya bisa dikerjakan salah satunya, mana yang dia kerjakan lebih dahulu dan yang dia mencukupkan diri dengannya. Maka janganlah sekali-kali kamu meremehkan suatu urusan, akan tetapi hendaknya kamu beristikharah kepada Allah dalam urusan yang kecil dan yang besar, yang mulia atau yang rendah, dan pada semua amalan yang disyariatkan istikharah padanya. Karena terkadang ada amalan yang dianggap remeh akan tetapi lahir darinya perkara yang mulia”.
Kaifiat Shalat Istikharah
Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits riwayat al-Bukhari di atas, shalat istikharah dilakukan sebanyak 2 rakaat. Adapun tata-caranya hendaklah dilakukan sebagaimana tata-cara shalat yang lain, baik yang meliputi bacaan maupun gerakan shalat. Sebagian ulama menganjurkan ketika rakaat pertama dan setelah membaca al-Fatihah hendaklah seseorang membaca surat al-Kafirun, dan di rakaat kedua membaca surat al-Ikhlas. Namun pendapat semacam ini tidak ada landasannya, sehingga ia tidak bisa dijadikan pegangan. Oleh karenanya, dalam shalat istikharah, seseorang boleh memilih surat apa saja dalam al-Qur’an. As-Sayyid Sabiq dalam “Fiqhus-Sunnah” mengatakan bahwa tidak ada ketentuan yang kuat tentang surat atau ayat apa yang harus secara khusus dibaca pada 2 rakaat istikharah itu. Selain itu juga tidak ada anjuran untuk mengulang-ulang ayat tertentu dalam suatu rakaat.
Perbedaan shalat istikharah dengan shalat pada umumnya hanyalah pada bacaan doa setelah selesai shalat. Teks doa istikharah terdiri dari dua macam, yaitu pertama, berbunyi:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ*) خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ*) شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى
“Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amra*) khairan lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amra*) syarrun lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii, fash-rifhu ‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khaira haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih”
“Ya Allah, aku memohon petunjuk kebaikan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu. Ya Allah, seandainya Engkau tahu bahwa masalah ini *) baik untukku dalam agamaku, kehidupanku dan jalan hidupku, jadikanlah untukku dan mudahkanlah bagiku dan berkahilah aku di dalam masalah ini. Namun jika Engkau tahu bahwa masalah ini *) buruk untukku, agamaku dan jalan hidupkku, jauhkan aku darinya dan jauhkan masalah itu dariku. Tetapkanlah bagiku kebaikan di mana pun kebaikan itu berada, dan ridhailah aku dengan kebaikan
Adapun teks doa istikharah yang kedua sama dengan di atas, hanya ada beberapa kalimat yang berbeda, yaitu: kalimat [دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى] diganti dengan [عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ]. Dengan demikian, teks lengkapnya adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ*) خَيْرٌ لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ *)شَرٌّ لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى
“Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amra*) khairan lii fii ‘aajili amrii wa aajilih faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amra *) syarrun lii fii ‘aajili amrii wa aajilih, fash-rifhu ‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khaira haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih.
“Ya Allah, aku memohon petunjuk kebaikan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu. Ya Allah, seandainya Engkau tahu bahwa masalah ini *) baik untukku di waktu dekat atau di masa nanti, jadikanlah untukku dan mudahkanlah bagiku dan berkahilah aku di dalam masalah ini. Namun jika Engkau tahu bahwa masalah ini *) buruk untukku, di waktu dekat atau di masa nanti, jauhkan aku darinya dan jauhkan masalah itu dariku. Tetapkanlah bagiku kebaikan di mana pun kebaikan itu berada dan ridhailah aku dengan kebaikan”.
*) Sebutkan urusan yang sedang dihadapi
Kedua teks doa tersebut bersumber dari hadits Jabir r.a. yang diriwayatkan oleh sl-Bukhari dalam kitab Shahihnya yang berbunyi:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
“Rasulullah SAW mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yang kami hadapi sebagaimana Beliau mengajarkan kami suatu surat dari al-Qur’an. Beliau SAW bersabda: ‘Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka ruku’lah (shalat) dua rakaat yang bukan shalat wajib kemudian berdoalah: Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa a’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amra khairul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau- ‘Aajili amriy wa aajilihi -faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aqibati amriy” atau- fiy ‘aajili amriy wa aajilihi- fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsumm ar dhiniy”.
“Ya Allah, aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang Agung. Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau Beliau bersabda; di waktu dekat atau di masa nanti- maka takdirkanlah buatku dan mudahkanlah, kemudian berikanlah berkah padanya. Namun sebaliknya ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau Beliau bersabda; di waktu dekat atau di masa nanti- maka jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah buatku urusan yang baik saja di mana pun adanya, kemudian jadikanlah aku ridha dengan ketetapan-Mu itu’. Beliau bersabda: ‘Dan hendaklah seseorang sebutkan urusan yang sedang diminta pilihannya itu’. [HR. al-Bukhari, No. 1162].
Keterangan:
Cara menyebutkan urusan misalnya: Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amra (Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa urusan ini) misalnya saja perjalananku ke Surabaya atau pernikahanku dengan si Fulanah atau usahaku membuka warung atau yang lainnya.
Doa shalat istikharah yang lebih tepat dibaca setelah shalat, dan bukan di dalam shalat, sebagaimana disebutkan di dalam hadits di atas. Syaikh Musthafa al- ‘Adawi hafizhahullah mengatakan: “aku tidak mengetahui dalil yang sahih yang menyatakan bahwa doa istikharah dibaca ketika sujud atau setelah tasyahud (sebelum salam), kecuali landasannya adalah dalil yang sifatnya umum yang menyatakan bahwa ketika sujud dan tasyahud akhir adalah tempat terbaik untuk berdoa. Akan tetapi, hadits ini sudah cukup sebagai dalil tegas bahwa doa istikharah adalah setelah shalat.
Seseorang setelah melakukan shalat istikharah, hendaknya dia memilih untuk mengerjakan apa yang hendak dilakukan dari urusan yang ingin dikerjakan. Jika urusan itu merupakan kebaikan, maka insya Allah dia akan dimudahkan oleh Allah SWT, dan jika itu merupakan kejelekan maka Allah akan memalingkannya dari urusan tersebut. Muhammad bin Ali az-Zamlakani rahimahullah berkata: “jika seseorang sudah shalat istikharah dua rakaat untuk suatu urusan, maka setelah itu hendaknya dia mengerjakan urusan yang dia ingin kerjakan, baik hatinya lapang/tenang dalam mengerjakan urusan itu ataukah tidak. Karena, pada urusan tersebut terdapat kebaikan walaupun mungkin hatinya tidak tenang dalam mengerjakannya”. Dan beliau juga berkata: “karena dalam hadits (Jabir) tersebut tidak disebutkan adanya kelapangan/ketenangan jiwa” [Thabaqat asy-Syafi’iah al-Kubra: 9/206]. Maksudnya: Dalam hadits Jabir di atas tidak disebutkan bahwa hendaknya dia mengerjakan apa yang hatinya tenang dalam mengerjakannya (wallahu a’lam).
Sebagian orang beranggapan bahwa jawaban istikharah akan Allah sampaikan dalam mimpi. Ini adalah anggapan yang sama sekali tidak berdalil, sebab tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah mengatakan: mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fikih. Sebab di dalam mimpi, setan memiliki peluang besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk mempermainkan manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda:
الرُّؤْيَا ثَلاَثَةٌ : فَبُشْرَى مِنَ اللهِ ، وَحَدِيثُ النَّفْسِ ، وَتَخْوِيفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ – أحمد
“Mimpi ada 3 macam, (yaitu) berita gembira dari Allah, dari bisikan hati, dan ketakutan dari setan” [HR. Ahmad].
Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa untuk menetapkan hukum, namun hanya sebatas diketahui. Dan tidak ada hubungan antara shalat istikharah dengan mimpi. Karena itu, tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada orang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan tanda baik baginya dan melapangkan jiwanya. Tetapi, sekali lagi, tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi.
Sebagian ulama berpandangan bahwa melakukan istikharah tidak harus dengan shalat khusus, tapi bisa dengan semua shalat sunah. Artinya, seseorang bisa melakukan shalat rawatib, dhuha, tahiyatul masjid, atau shalat sunah lainnya, kemudian setelah mengerjakan shalat dia membaca doa istikharah. Pandangan tersebut didasarkan pada hadits tentang shalat istikharah di atas yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ
“Kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu…”
Dalam hal ini, Imam an-Nawawi mengatakan:
والظاهر أنها تحصل بركعتين من السنن الرواتب ، وبتحية المسجد، وغيرها من النوافل
“Dan yang jelas, doa istikharah bisa dilakukan setelah melaksanakan shalat rawatib, tahiyatul masjid, atau shalat sunnah lainnya” [Bughyatul Mutathawi’, hlm. 45].
Istikharah boleh dilakukan berulang kali dalam urusan yang kita inginkan untuk mohon petunjuk kepada Allah. Sebab, istikharah adalah doa, dan tentu saja boleh dilakukan berulang kali. Wallahu A’lam.
narasumber utama artikel ini: Zaini Munir Fadloli
Sumber Artikel : http://tuntunanislam.id