DEPOKPOS – Tindakan bersiul, dipanggil dengan sebutan “sayang”, “ganteng” atau “cantik” dan komentar verbal yang tidak diinginkan, tergolong kedalam “catcalling” yang termasuk sebagai bentuk pelecehan.
Pelecehan ini dengan sangat mudah dapat dialami oleh siapapun dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan sampai saat ini hal tersebut masih dianggap sebagai suatu hal yang biasa.
Melihat fenomena ini, maka dirasa perlu untuk dikaji pengaturan “catcalling” dalam sistem hukum Indonesia dan pandangan masyarakat terhadap “catcalling” itu sendiri.
Haruskah diadakan suatu aturan mengenai catcalling ?
Berdasarkan hasil survei online sebagian besar masyarakat menyebutkan bahwa “catcalling” bukanlah suatu candaan atau pujian, mereka yang mengalami “catcalling” merasa marah, jijik dan takut ketika mengalami.
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan, hal
ini diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Undang-
Undang HAM).
Hak untuk memperoleh rasa aman ini dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Undang-Undang HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan kebijakan-kebijakan lainnya.
Meski telah memiliki sejumlah kebijakan yang menjamin rasa aman, namun hal tersebut tidak dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Tempat umum seperti sarana transportasi publik, sarana olahraga, supermarket, bahkan tempat yang seharusnya memberikan rasa aman seperti sekolah, tempat kerja dan tempat ibadah, sering menjadi tempat dimana ketidakamanan dapat dirasakan.
Perbuatan yang menimbulkan rasa tidak aman, dikategorikan sebagai street harassment.
Street harassment merupakan tindakan-tindakan seperti bersiul, menatap atau melotot secara berkepanjangan, meraba-raba, mengikuti seseorang dan komentar verbal yang mengganggu.
Menurut laporan yang berjudul “Unsafe and Harassed in Public: A National Street Harassment Report”, street
harassment atau pelecehan jalan diartikan merupakan suatu interaksi yang tidak diinginkan yang terjadi pada ruang publik yang melibatkan dua pihak atau lebih yang tidak saling mengetahui satu sama lain dan biasanya disebabkan oleh gender, orientasi seksual atau ekspresi gender, mengakibatkan korban merasa kesal, marah, malu ataupun takut.
Street harassment, sering diidentifikasikan sebagai suatu pelecehan seksual di tempat umum yang sebagian besar korbannya adalah perempuan, namun tidak menutup kemungkinan.
Catcalling dapat menyebabkan stres dan kecemasan pada individu yang menjadi target pelaku.
Perasaan tidak aman dan rentan akan situasi tertentu dimana mereka merasa dipertontonkan atau dievaluasi secara seksual tanpa persetujuan.
Pengalaman catcalling dapat merusak harga diri seseorang, perasaan ini biasanya dirasakan melalui penampilan fisik yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan keraguan diri.
Sering kali, individu yang menjadi korban catcalling merasa takut dan mungkin perlu meningkatkan tingkat kewaspadaan mereka di lingkungan sekitar.
Hal ini dapat mengubah perilaku mereka, misalnya dengan menghindari daerah tertentu atau mengambil langkah-langkah perlindungan diri.
Catcalling yang berulang-ulang dapat memiliki dampak jangka panjang pada kesehatan mental seseorang.
Pengulangan pelecehan verbal dapat menyebabkan traumatisasi, yang mungkin memerlukan dukungan psikologis atau konseling untuk pemulihan.
Dampak catcalling pada korban meliputi reaksi emosional jangka pendek yang negatif.
Dampak jangka panjang termasuk trauma, perubahan sikap terhadap laki-laki, trust issues, dan pembatasan mobilitas.
Dampak psikologis mencakup perubahan perilaku dan pola hidup untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan.
Dampak sosial terganggunya mobilitas sehari-hari, perubahan interaksi sosial, dan pembentukan pandangan negatif terhadap lingkungan sekitar.
Ulfi Fitriyah Kamili, Mahasiswi Universitas Pamulang